Korupsi Era SBY Lebih Parah – Rabu, 12 Oktober 2011

JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bekerja keras lagi memberantas korupsi. Pasalnya, praktisi hukum Johnson Panjaitan mengatakan, korupsi yang berlangsung di era pemerintahan SBY saat ini jauh lebih dahsyat dibanding Presiden Soeharto berkuasa.

’’Kalau di era Pak Harto korupsi terjadi di bawah meja, sekarang malah sampai meja-mejanya dikorup,’’ kata Johnson dalam diskusi bertema Politik Anggaran Sama dengan Politik Bagi-Bagi Kekuasaan dan Kooptasi di Rumah Perubahan 2.0, Jakarta, kemarin (11/10).

Bersama Johnson Panjaitan, ikut ambil bagian aktivis antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan dan Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Menurut Johnson, salah satu sumber korupsi adalah Badan Anggaran (Banang) DPR. Demikian bobroknya Banang, hingga sepertinya tidak mungkin lagi diperbaiki. ’’Perbaikan tidak bisa kita lakukan baik pada sistem maupun personel yang ada di Banang. Jadi sebaiknya Banang dibubarkan saja,’’ ujarnya.

Pendapat senada juga datang dari Abdullah Dahlan. Menurut dia, kewenangan Banang yang terlalu besar sebagai alat kelengkapan DPR terbukti menjadi sumber korupsi. Sejumlah kasus korupsi yang terungkap belakangan ini berawal dari kesepakatan antara Banang, kementerian, dan pengusaha terkait proyek di pemerintahan.

’’Pola-pola pembajakan APBN sudah didesain sejak awal, yaitu sejak masih di kementerian. Ini terjadi karena kementerian dipimpin kader-kader Parpol. Padahal kita tahu, problem terbesar Parpol adalah tidak mandiri dalam hal pendanaan. Itulah sebabnya Parpol menempatkan orang-orangnya di kementerian dan di Banang sebagai para pemburu rente. Kasus Wisma Atlet menjadi contoh dan bukti nyata adanya pola-pola pembajakan APBN,’’ papar Dahlan.

Di tempat yang sama, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Sebastian Salang menuding APBN yang disusun pemerintah dan DPR disusun untuk kepentingan elite.

’’Kalau kita perhatikan komposisinya, APBN memang disusun untuk para elite di pemerintahan dan DPR. Pos-posnya jelas, sebagian besar untuk biaya birokrasi. Sedangkan proyek-proyeknya, bukan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebab, jika untuk penguatan dan peningkatan kesejahteraan petani atau nelayan, misalnya, tidak ada cash back untuk bupati, wali kota, kepala dinas, dan DPR atau DPRD. Peran negara untuk mensejahterakan rakyat tidak ada. Rakyat harus berjuang mati-matian sendiri,’’ ungkap Sebastian.

Dikatakan, praktik para koruptor itu pada umumnya melakukan mark up pada sisi pengeluaran. Tapi saat ini ada lagi cara baru yakni praktik mark down pada sisi penerimaan. ’’Contohnya pada sisi penerimaan cukai rokok dan produk tembakau. Nilainya dari tahun ke tahun memang terus meningkat. Namun dengan penerimaan yang kini sekitar Rp60 triliun, mestinya bisa jauh ditingkatkan lagi, terutama jika dikaitkan dengan volume produksi rokok yang mencapai ratusan miliar batang tiap tahun,’’ ungkap Sebastian.

Koordinator Rumah Perubahan 2.0 Abdulrachim mengatakan, sebetulnya pelaku praktik mark down dari sisi penerimaan sudah ada yang tertangkap, yaitu Gayus Tambunan. Namun para penegak hukum tampaknya lebih suka mengadili Gayus untuk kasus sebuah perusahaan yang cuma beberapa ratus juta rupiah dan pemalsuan paspor.

’’Kalau begini cara penanganan hukum bagi koruptor, maka ke depan korupsi pasti akan semakin membesar. Pertanyaannya, seriuskah SBY dalam memberantas korupsi seperti berkali-kali dikatakannya? Pertanyaan berikutnya, apakah dia masih layak dipertahankan sampai 2014,’’ tanya Abdulrachim. (jpnn/c3/niz)

http://www.radarlampung.co.id/read/nasional/42387-korupsi-era-sby-lebih-parah-

Tinggalkan komentar