Kasus Taman Nasional Bunaken

Kasus Taman Nasional Bunaken:
Terlalu Menonjolkan Ego sektoral?
Letak Taman Nasional Bunaken meliputi dua wilayah, bagian Utara meliputi 5 buah pulau,
yaitu Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, Pulau Mantehage, Pulau Siladen, dan Pulau Nain,
serta sebagian wilayah pesisir Pulau Sulawesi, dan bagian Selatan yang keseluruhannya
merupakan wilayah pesisir di daratan Pulau Sulawesi. Luas total Taman Nasional Bunaken
(TNB) adalah 79.056 Ha.
Ekosistem TNB dibagi dalam 2 kategori, yaitu ekosistem laut dan pesisir, serta ekosistem
darat. Habitat yang paling mendapat perhatian sehingga dijadikan kawasan pelestarian adalah
terumbu karang. Komunitas karang yang membentuk terumbu karang di TNB mempunyai
keanekaragaman yang tinggi. Tercatat sekurang-kurangnya 58 genera dan sub-genera karang
keras yang terdapat di taman nasional tersebut.
Berdasarkan sejarahnya, Kawasan Bunaken pertama kali ditetapkan sebagai Kawasan
Lindung. Status tersebut kemudian berubah menjadi Cagar Alam mulai Tahun 1986.
Terakhir, pada Tahun 1991 Cagar Alam Bunaken kemudian ditetapkan menjadi Taman
Nasional, dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK/730/Kpts-II/91 pada tanggal
15 Oktober 1991. Status pulau-pulau dan laut di sekitar Bunaken, Manado Tua, Mantehage,
Siladen, dan Nain serta perairan Arakan Wawontulap kemudian menjadi Taman Nasional.
Pada awalnya, pengelolaan TNB dilakukan oleh Forum Koordinasi, yang dilakukan oleh
beberapa instansi terkait, yaitu PHPA, Pemda, masyarakat lokal serta pengusaha. Melalui
Forum Koordinasi tersebut diharapkan terjalin komunikasi dan koordinasi dalam pengelolaan
TNB, serta pengembangan kerja sama. Namun ternyata Forum Komunikasi tersebut tidak
efektif. Masing-masing pihak ternyata memiliki visi yang berbeda, dan mengembangkan
programnya sendiri-sendiri. Hal ini misalnya terlihat dari pengembangan sebuah dermaga dan
beberapa cottage di kawasan sempadan pantai.
PHPA, berangkat dari visi pengamanan dan pelestarian SDA yang berkelanjutan
menyebutkan bahwa pembangunan dermaga tersebut dapat merusak Kawasan Taman
Nasional Bunaken. Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisatanya– yang punya inisiatif
untuk melakukan pembangunan dermaga dan cottage tersebut — berdalih bahwa
pembangunan tersebut akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Sementara itu pada tahun 1995 Gubernur Sulawesi Utara juga memberikan dukungan kepada
sebuah perusahaan bernama CV. Sumber Rejeki untuk – secara monopoli –melakukan
pengusahaan rumput laut, melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara yang bernomor
523/04/113039.

Masyarakat sendiri, dengan alasan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka juga melakukan
penangkapan ikan skala kecil, menebang bakau untuk kayu bakar dan pengusahaan rumput
laut.
Dari berbagai problematika yang terjadi tampak betapa konflik kepentingan yang terdapat di
sana akan sangat membahayakan fungsi dari Taman Nasional Bunaken itu sendiri. Beberapa
pertanyaan mendasar yang muncul adalah, 1) Apakah proses penetapan kawasan tersebut
sebagai kawasan konservasi – kawasan lindung, kawasan cagar alam dan terakhir kawasan
taman nasional – dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat ? Apakah pada saat
penetapannya ada tanah-tanah yang kemudian diambil begitu saja, sehingga masyarakat tetap
menganggap bahwa TNB adalah milik mereka ? 2). Mengapa Gubernur atau Pemda
mengeluarkan izin pengusahaan (rumput laut dan pembangunan cottage) padahal jelas bahwa
hal tersebut tidak dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ?, dan 3). Upaya apa saja yang telah dilakukan
oleh PHPA sehingga koordinasi antar instansi/stakehoders pengelolaan TNB menjadi tidak
efektif ?

 

Hukum Lingkungan – teori dan Legislasi – hlm. 106

Tinggalkan komentar