Archive for Hukum Lingkungan

Download Putusan MA 574 K/ Pid.Sus LH/ 2017

Free download

Putusan Mahkamah Agung

Putusan MA No: 574 K/Pid.Sus LH/2017, tertanggal 18 Juli 2017

Putusan Pidana Khusus Lingkungan Hidup

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

M A H K A M A H A G U N G

 

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

putusan.mahkamahagung.go.id

 

Gugatan pencemaran lingkungan oleh PT Indo Bharat Rayon dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada April 2016

 

Putusan Mahkamah Agung.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Purwakarta, Sucipto menyatakan, pihaknya telah mengeksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) tentang kasus tindak pidana pencemaran lingkungan hidup kepada pabrik tekstil Indobarat, Purwakarta.

Perusahaan tersebut diputuskan telah mencemari Sungai Kalimati dan dijatuhi hukuman denda Rp 2 miliar serta diwajibkan membersihkan limbah pabrik di muara sungai tersebut.

“Kemarin, pihak PT Indobarat telah membayar denda sebesar Rp 2 miliar dan biaya perkara sebesar Rp 2.500. Ini ekseskusi dari putusan MA No: 574 K/Pid.Sus LH/2017, tertanggal 18 Juli 2017,” jelas Sucipto di kantornya, Selasa (23/12018).

download pdf dibawah sini

Free download

Leave a comment »

Kasus Pengendalian Pencemaran Udara

Pengendalian pencemaran udara telah diatur secara spesifik dalam berbagai peraturan perundang-undangan. ANatar lain yaitu :
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan
Permen LH No. 4 Tahun 2011 tentang Sertifikasi Kompetensi Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran Udara – PPPU
Permen LH No. 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah
Permen LH No. 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal (cerobong GENSET)
Permen LH No. 7 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Ketel Uap (cerobong BOILER)
Permen LH No. 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama (Emisi Kendaraan)
Kep Men LH No. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)
Kep Men LH No. 50 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan
Kep Men LH No. 49 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Getaran
Kep Men LH No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan
Kep Men LH No. 15 Tahun 1996 tentang Program Langit Biru.
Kep Bapedal No. 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak
Sayangnya, selama ini, ketentuan tersebut “seolah” hanya mengikat untuk badan usaha dan/ atau perseorangan semata. Contohnya saja, dalam rangka pengendalian pencemaran yang bersumber dari emisi bergerak, seperti kendaraan bermotor mobil. Sebagian besar aparatur tentu saja tidak pernah memperdulikan polusi yang bersumber dari knalpot kendaraanya.Namun,jika berbicara kewajiban badan usaha atau perseorangan, maka pemerintah dengan tegas memaksakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Padahal aparat atau instansi pemerintah sendiri, mungkin sebagian besar tidak pernah melaksanakan uji emisi gas buang kendaraan dinasnya.
Selain aparat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan, maka kegiatan seperti penggunaan bahan bakar gas, uji emisi kendaraan bermotor, pengendalian emisi cerobong asap, car free day, pemasyarakatan penggunaan transportasi publik, penambahan ruang terbuka hijau, manajemen lalu lintas, penerapan sistem ganjil-genap, dan pemasyarakatan eco-driving, itu LSM – LSM secara personal gak mengerti atau gakmenyadari, bahwa mereka juga gak pernah bisa menjadi teladan. Sibuk bersuara… tanpa mencoba mencari solusi untuk bangsa.
Saya yakin, apabila anggota LSM itu diwawancara, maka sebagian besar dari mereka tidak pernah melaksanakan UJI EMISI….hehehe….YAKIN deh…tapi kalau bersuara agar pabrik ditutup, karena cerobongnya mencemari udara…sering banget!
…………………………………………
 hasilnya :::
KUALITAS UDARA DI JAKARTA SANGAT BURUK
Rabu, 05 April 2017
Kualitas udara di Jakarta masih di bawah ambang batas yang disyaratkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jika dilihat dari indikator particulate matter (PM) 2,5. PM 2,5 adalah salah satu polutan paling berbahaya berbentuk partikel halus yang berasal dari emisi transportasi, industri, dan pembangkit tenaga listrik. Greenpeace Indonesia meneliti 19 lokasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi selama Februari-Maret 2017. Hasilnya, wilayah perumahan di Cibubur, Jakarta Timur, tingkat PM 2,5 rata-rata selama dua bulan berada di angka 103,2 µg/m3. Tingkat PM 2,5 itu berada jauh di atas batasan standar minimum yang ditetapkan WHO, yaitu 25 µg/m3, dan standar Baku Mutu Ambien Nasional 65 µg/m3. “Masyarakat selama ini tidak sadar betapa buruknya kualitas udara karena data yang tersedia sangat terbatas di beberapa titik,” kata juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, Selasa (4/4). Bondan mengatakan, jika terpapar PM 2,5 secara terus-menerus, orang bisa terkena berbagai macam penyakit, terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), paru-paru kronis, pecahnya pembuluh darah, kanker paru-paru, dan stroke. Ahli jantung dan penyakit dalam Rumah Sakit Siloam, Djoko Maryono, mengatakan, paparan polusi udara terus-menerus mengakibatkan retaknya pembuluh darah jantung, munculnya plak di pembuluh darah akibat radikal bebas. Infeksi akibat radikal bebas itu bisa membentuk bisul-bisul di pembuluh darah yang bisa pecah kapan pun. Pecahnya pembuluh darah mengakibatkan migrain, stroke, dan kematian mendadak. “Polusi yang parah di kota-kota besar membuat orang yang terkena risiko penyakit semakin muda usianya. Sekarang banyak orang di bawah 50 tahun terkena stroke,” kata Djoko. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI memiliki target menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 30 persen. Salah satu caranya dengan mitigasi di bidang transportasi. Kegiatan mitigasi peningkatan kualitas udara itu dilakukan di antaranya dengan penggunaan bahan bakar gas, uji emisi kendaraan bermotor, pengendalian emisi cerobong asap, car free day, pemasyarakatan penggunaan transportasi publik, penambahan ruang terbuka hijau, manajemen lalu lintas, penerapan sistem ganjil-genap, dan pemasyarakatan eco-driving. Upaya ini terus dilakukan meski dampaknya belum terlalu signifikan. (DEA)…………..SUMBER, KOMPAS, RABU 5 APRIL 2017, HALAMAN 28
Secara sederhana, polutan terbesar tentu bersumber dari kendaraan bermotor. Lha, seharusnya pemerintah memberi teladan dahulu. Laksanakan uji emisi.
LSM juga jangan sekedar bersuara. Penelitian terhadap dampak lingkungan mutlak adanya untuk menunjang advokasi. Penanaman pohon atau penghijauan memang baik, namun tentu tidak bisa menjadi solusi.
Pengendalian pencemaran tentu akan lebih baik jika menggunakan pendekatan end of pipe. Jadi alangkah baiknya, anggota LSM juga ikut memberikan TELADAN, dengan berhenti menggalakan penghijauan semata, berhenti menggunakan kendaraan pribadi, lalu ikut uji emisi, menggalakkan uji emisi, sehingga sumber polutan bisa ditekan seminimalisir mungkin.
Kalau kendaraan berpolutan makin banyak, lalu pohon makin banyak, yah sami mawonnnnnnn……

Leave a comment »

BACA FULL – Apakah Suku Samin Menolak SEMEN

Mohon dibaca berita di bawah ini : Apakah ada peryataan atau informasi yang menegaskan, BAHWA SUku Samin Menolak Pabrik SEMEN.

Pastikan sendiri kebenaran… jangan Mau dibohongi… PARAHHHHH

Samin Tolak Semen, Ini Strategi Semen Indonesia
Jum’at, 24 Juli 2015 | 21:26 WIB
Samin Tolak Semen, Ini Strategi Semen Indonesia
Pabrik Semen Gresik Plant IV di Tuban, Jatim. ANTARA/Eric Ireng

TEMPO.CO, Surabaya –   Manajemen PT Semen Indonesia mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan konflik dengan suku Samin yang  menolak rencana pendirian  pabrik semen milik perusahaan itu di Jawa Tengah.

“Mereka sebenarnya khawatir mata airnya akan hilang setelah dibangun pabrik semen,” ujar Sekretaris Perusahaan PT. Semen Indonesia, Agung Wiharto kepada Tempo, Jumat 24 Juli 2015.

Untuk itu, kata Agung, perusahaannya akan memberikan jaminan kalau kehadiran pabrik semen itu tidak akan merusak mata air di gunung Kendeng maupun menghilangkan mata pencaharian warga sekitar. Justru kehadiran pabrik Semen Indonesia di Rembang akan membantu warga dalam mengoptimalkan lahan pertanian.

Semen Indonesia sendiri, kata Agung, telah mengalokasikan 25 persen dari keseluruhan lahan pabriknya yang berada di Rembang untuk memperbaiki lahan pertanian di sana. Mereka  juga bakal menyediakan saluran irigasi dan memperluas kawasan mata air di tempat tersebut.
Agung juga menjelaskan bahwa pembangunan pabrik semen ini bakal berada di lahan tak subur. Justru, kata dia, Semen Indonesia menciptakan green zone di kawasan itu.

“Justru keberadaan kami membantu pertanian warga,” kata dia. Selama ini, BUMN ini telah menerapkan metode pertambangan profesional yang tidak merusak mata air. Caranya dengan melibatkan para ahli pertambangan dan ahli geologi.

Karena itu Agung membantah jika dampak adanya pabrik semen membuat warga semakin sengsara. Kini, Semen Indonesia mengklaim berhasil mengajak 40 persen warga sekitar untuk bekerja di perusahaan milik negara tersebut.

Agung pun mengaku bahwa PT Semen Indonesia tidak pernah konflik secara langsung dengan suku Samin. Mereka pernah mengajak diskusi warga Samin dan memahami aspirasi dan keinginan warga. “Saya lihat (penolakan pabrik semen–) bukan tujuan mereka,” tutur dia.

Karena itu, kata Agung, persoalan penolakan warga atas pembangunan pabrik Indocement di Pati menurutnya adalah isu yang dibangun media massa. “Kami seolah-olah ditempatkan melawan dan menganiaya masyarakat, padahal tidak demikian,” ucap dia.

AVIT HIDAYAT
Sumber : https://m.tempo.co/read/news/2015/07/24/092686333/samin-tolak-semen-ini-strategi-semen-indonesia
3 April 2017

Baca Yang FULL

Buktikan dengan MATA sendiri : Kebenaran Kasus Semen Rembang

Tokoh Samin Komentari Aksi Demo Menolak Pabrik Semen
Rabu, 8 Maret 2017 | 09:16 WIB

SEMARANG, KOMPAS.com
– Aksi protes warga yang menolak kehadiran pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah masih berlangsung. Mereka yang menolak mayoritas dari masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Warga penolak pabrik itu banyak yang berpakaian serba hitam seperti identitas masyarakat Samin (Sedulur Sikep) selama ini.  Hal itu menyebabkan beredar informasi bahwa masyarakat Samin menolak pendirian pabrik semen.

Terkait hal itu, salah seorang tokoh Samin dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Sutoyo (82) menyebutkan, pihaknya enggan dikait-kaitkan dengan demo penolakan pabrik. Bagi mereka, ajaran Samin tidak mengajarkan soal aksi protes yang berlebihan seperti halnya demo.

Dia juga menyesalkan soal adanya identitas yang dipakai warga menolak pabrik. Kebanyakan warga menggunakan baju hitam, celana hitam diatas mata kaki, serta memakai selendang di kepala. Identitas itu lumrah digunakan warga Samin dalam kebiasaannya.

“Warga kebanyakan tahunya yang pakai pakaian hitam itu dari Samin. Padahal tidak, kami tidak melakukan itu,” ujar Sutoyo, warga Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Rabu (8/3/2017).

Dia lalu menceritakan salah satu ajaran Samin. Anggota Samin dilarang untuk mengumbar suara, serta bertindak berlebihan dalam menyikapi satu persoalan. Warga Samin tidak mengenal aksi demontrasi.

“Wong Sikep seng asli ora gelem demo. Dadi wong seng lugu, adil, dan jujur,” katanya.

Dia pun ingin agar aksi demo menolak pabrik semen tidak lagi diidentikkan dengan perjuangan warga Samin. Jika ada anggota Samin yang ikut menolak, diminta untuk tidak menggunakan nama Samin.

Penganut ajaran Samin, Maniyo (43) juga meminta agar warga yang ikut menolak pabrik tidak menggunakan nama komunitasnya, apalagi mengatasnamakan menjadi salah satu tokoh Samin.

“Kita tidak menolak atau meminta, sebab kita tak punya hak di situ. Yang penting tidak mengganggu,” ujar Maniyo.

Sementara itu, Gunretno, tokoh di Jaringan Masyarakat Peduli Gunung Kendeng (JMPPK) Pati mengaku aksi penolakan itu bukan atas nama masyarakat Samin. Meski dirinya Samin, dia menyebutkan, kegiatan penolakan bukan mengatasnamakan warga Samin.

“Saya tak pernah mengklaim bahwa aksi-aksi tolak semen itu aksinya Sedulur Sikep. Atas nama JMPPK, yang mana elemen di dalamnya bukan hanya dari para Sedulur Sikep, tetapi juga masyarakat lain,” ucapnya.

Terkait dengan ajaran Samin yang tidak bersikap, Gunretno berpendapat berbeda. Menurut dia, tokoh Samin bernama Mbah Tarno vokal menolak pendirian pabrik. Oleh karena itu, alasan soal melanggar ajaran tidak perlu diperdebatkan.

“Mbah Tarno semasa hidup diakui sebagai tokoh Sedulur Sikep? Terang-terangan menyatakan bahwa ia menolak pendirian pabrik semen. Saya punya rekamannya,” ucapnya.

Sebelum ini, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga pernah memanggil tokoh Samin di Semarang. Ganjar ingin mengetahui sikap warga Samin terkait pembangunan pabrik semen Indonesia di Rembang.
Baca: Cari Tahu Sikap Warga soal Pabrik Semen, Ganjar Panggil Tokoh Samin
SUmber : http://regional.kompas.com/read/2017/03/08/09164731/tokoh.samin.komentari.aksi.demo.menolak.pabrik.semen
3 April 2017

BACA Lagi kalau masih gak PUAS…. Biar Gak mudah dibohongi :

APakah Samin Menolak semen : Tidak. Lha kok diberita Kesannya Samin gimana !!!

Gubernur Ganjar Duduk Mendengar Sikap Para Tokoh Samin Soal Semen Rembang
Sabtu, 17 Desember 2016 18:41 WIB
Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Nur Huda

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Para tokoh Samin Sedulur Sikep dari Pati, Blora, Kudus, dan Bojonegoro, Jawa Timur, menyampaikan sikap mengenai pabrik semen di Pegunungan Kendeng.

Menurut mereka apa pun yang ada di muka bumi, selain manusia, termasuk sandang pangan atau sumber penghidupan. Baik dari alam mau pun sumber penghidupan lain yang dibuat oleh manusia.

“Itu diciptakan untuk kita semua,” kata Poso, tokoh Sedulur Sikep asal Blora, saat bertemu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Kantor Gubernur Jateng, Semarang, Kamis (15/12/2016).

Sedulur Sikep tidak menolak dan tidak pula mendukung. Apa pun yang bisa memberikan manfaat bagi orang banyak, tentunya baik bagi kehidupan.

“Dibilang setuju ya setuju (pembangunan pabrik semen), karena itu untuk orang banyak. Tidak ada penolakan,” Poso menambahkan.

Selama pabrik semen memberikan manfaat bagi orang banyak, baik bagi masyarakat sekitar. Misalnya, masyarakat bisa ikut bekerja di pabrik, begitu pula tanah di sekitarnya bernilai jual tinggi.

“Sedulur kita yang tidak bekerja bisa bekerja di situ. Yang di dekat sana, tanah nilainya lebih mahal. Jadi bisa untuk pertumbuhan ekonomi dia sendiri,” ungkap dia.

Poso menegaskan, kepercayaan Samin tidak mengajarkan permusuhan. Samin menganggap semua isi alam saudara, baik manusia maupun isi semesta.

Kalau alam mau diberdayakan oleh pabrik semen, sikap sedulur Sikep cuma bisa mempersilakan dengan harapan memberi manfaat bagi masyarakat.

Semen nggih mboten menopo. Mboten ditolak. Nek mangkeh kok pabrik nyengsarakke alam lan menungsa, mangkeh dibales dewe karo alam. Entuk bendhune alam. (Semen ya tidak apa-apa. Tidak ditolak. Kalau nanti pabrik menyengsarakan alam dan manusia ya nanti dibalas sendiri oleh alam. Dapat hukuman alam),” ungkap pria asal Desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora, tersebut.

Saat audiensi dengan Gubernur Ganjar, mereka berdialog sambil lesehan di atas karpet merah. Ganjar didampingi Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Jateng, Indrawasih; Kepala BLH Jateng, Agus Sriyanto; dan Kepala Dinas ESDM Jateng, Teguh Dwi Paryono.

“Begitulah cara mereka bersikap. Adil, jujur, apa adanya, tidak mau konfrontasi. Itu adalah nilai-nilai yang mereka miliki. Mereka tidak mengurusi semen, netral. Kalau ada (yang menolak) mungkin tetap ada, dan tetap dianggap sedulur,” katanya.
Sumber : http://www.tribunnews.com/regional/2016/12/17/gubernur-ganjar-duduk-mendengar-sikap-para-tokoh-samin-soal-semen-rembang

Leave a comment »

Apakah Sedulur Sikep Menolak Pabrik Semen Rembang ??? Tidak.

Kalau ada yang mengatasnamakan sedulur sikep dalam menolak semen Rembang gimana? Baca aja putusan MA. 3. Putusan Mahkamah Agung PK_TUN_2016.

biar gak dibohongin sama berita PALSU. Gak ada komunitas sedulur sikep yang menolak pabrik semen. FAKTA bukan TIPU-TIPU.

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161215152638-20-179874/warga-sedulur-sikep-bantah-ikut-tolak-semen-rembang/

Warga Sedulur Sikep Bantah Ikut Tolak Semen Rembang

Damar Sinuko, CNN Indonesia/ Kamis, 15/12/2016 16:10 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah tokoh masyarakat Sedulur Sikep membantah ikut menolak keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Para penganut ajaran Samin itu menyebut, pabrik milik PT Semen Indonesia itu tidak mempengaruhi kehidupan mereka.

Hal ini dinyatakan para pemuka warga Samin ini saat diundang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Semarang, Kamis (15/12).

Ganjar sengaja menggelar pertemuan itu untuk mengkonfirmasi kabar penolakan Sedulur Sikep atas keberadaan pabrik semen seperti yang kerap dilontarkan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Lihat juga: KLHK Perintahkan Ganjar Cabut Izin Lingkungan Semen Indonesia

Salah seorang tokoh Sedulur Sikep, Poso mengatakan, selama ini warga Samin tidak pernah ikut campur dalam konflik Semen Rembang. Pasalnya, mereka tidak ada yang tinggal di daerah Rembang.

Kami ada di Pati, Kudus, Blora dan Bojonegoro. Kalau ditanya soal menolak pabrik Semen di Rembang, kami tidak tahu, tidak bisa menjawab,” kata Poso.

Menurutnya, ada atau tidak pabrik di kawasan Kendeng itu tidak berdampak pada kehidupan dan kesejahteraan warga Samin.

Mendengar pernyataan warga Samin ini, Ganjar yakin bila warga penolak pabrik semen tidak sebanyak yang diklaim selama ini. Seperti yang dicantumkan dalam gugatan hukum yang mencantumkan jumlah 2.051 orang.

Apalagi, dalam gugatan tersebut ada nama-nama yang mencantumkan profesi mereka yang aneh dan tidak masuk akal.

Lihat juga: Ganjar Persoalkan Ultraman dalam Data Penolak Pabrik Semen

Misalnya penggugat dengan nama Zaenal Muhlisin yang mencantumkan pekerjaannya sebagai Power Rangers. Ada pula penggugat Bekti Tri S dengan keterangan pekerjaan sebagai Ultraman.

Selanjutnya ada yang bernama Sudi Rahayu, beralamat di Amsterdam dengan pekerjaan Menteri. Bahkan pekerjaan sebagai presiden juga dicantumkan oleh penggugat bernama Saiful Anwar yang beralamat di Manchester.

Mereka yang datang para sesepuh Samin enggak peduli dengan pabrik semen. Terus pertanyaannya, warga Samin mana yang diklaim kubu yang menolak itu,” kata Ganjar usai pertemuan.

Ganjar kembali menekankan bila putusan MA yang mencabut izin lingkungan pabrik semen Rembang tidak menyentuh pada fisik pembangunan pabrik semen. Karena itu, tuntutan untuk menutup pabrik semen di Rembang dinilai Ganjar salah kaprah.

“Publik harus tahu, tidak ada perintah atau putusan menutup pabrik. Jadi ini soal izin lingkungan di mana kami punya waktu sampai 17 Januari 2017 untuk memberikan sikap,” kata Ganjar.

Keberadaan pabrik semen tersebut masih menuai pro dan kontra. Warga yang menolak menempuh jalur hukum dan memenangkan gugatan. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan dengan mencabut izin lingkungan yang dikeluarkan Ganjar.

Lihat juga: Gubernur Ganjar: Pabrik Semen Jalan Terus

Warga Rembang juga mendesak Ganjar melaksanakan putusan MA. Mereka bahkan berjalan dari Rembang ke Semarang untuk menemui politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Belakangan, Ganjar malah mengeluarkan izin nomor 660.1/30 Tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen tertanggal 9 November 2016.

Alasan Ganjar, izin baru dikeluarkan atas permintaan PT Semen Indonesia yang mengubah nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk menjadi PT Semen Indonesia; dan perubahan penggunaan lahan.

https://jateng.merdeka.com/industri/sedulur-sikep-nyatakan-tidak-pernah-menolak-semen-rembang-161216g.html

Sedulur Sikep nyatakan tidak pernah menolak semen Rembang

Sedulur Sikep dari Kudus, Pati, Blora, dan Bojonegoro menyatakan tidak pernah berdemo dan tidak menolak ataupun mendukung Semen Rembang

©2016 Merdeka.com Reporter : Anton Sudibyo | Jum’at, 16 Desember 2016 13:39

Merdeka.com, Jawa Tengah – SEMARANG – Sekitar 20 warga Sedulur Sikep dari berbagai daerah mendatangi Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Kamis (15/12). Mereka tegas nyatakan Sedulur Sikep tidak pernah menolak pabrik semen Rembang.

Mereka yang datang berasal dari Pati, Blora, Kudus, dan Bojonegoro. “Nek Rembang sak ngertiku lan dulur-dulur kok ora ono wong Sikep (Kalau Rembang setahuku dan teman-teman kok tidak ada orang Sikep),” kata Budi Santoso, tokoh Sikep asal Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus.

Menurutnya, Sedulur Sikep tidak pernah mengeluarkan pernyataan menolak Semen. Ajaran Samin Surosentiko melarang pengikutnya bersikap bermusuhan dengan siapapun. Samin juga tidak mengenal demo atau menyuarakan pendapat di muka umum.

Terkait film Samin vs Semen, Budi justru menganggap film itu hanya memanfaatkan Sedulur Sikep untuk kepentingannya sendiri. “Samin naming dadi kudung (Samin cuma jadi topeng),” tegasnya.

Sutoyo, tokoh Sikep Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati menyampaikan, tokoh Sikep Gunretno yang memimpin penolakan Semen Rembang masih saudara dekatnya. Ia menolak diajak demo oleh Gunretno.

“Tak welingke ajaran, ojo yo le, ora usah koyo ngono. Tapi tetep mangkat nggih pripun. Niku sing ora ngerti ajaran, ngertine disanguni yo gelem mangkat (Sudah saya ingatkan ajaran tapi tetap berangkat demo. Itu tidak tahu ajaran, tahunya diberi uang ya berangkat semua),” katanya.

Manio, juga warga Sukolilo mengatakan dirinya adalah saudara ipar Gurnetno. Ia menyatakan Wong Sikep yang demo menolak Semen Rembang cuma Gunretno dan beberapa anggota keluarganya. “Kula ipe kaliyan Gun, tapi tata carane berlawanan. Ingkang nyuworo menolak semen niku namun mboten wonten tiyang sepuluh (Saya iparnya Gunretno tapi tata caranya berlawanan. Samin yang menolak semen tidak ada orang sepuluh),” ujarnya.

Tokoh Sikep asal Blora, Poso, mengatakan agama Samin tidak mengajarkan permusuhan. Samin menganggap semua isi alam saudara, baik manusia maupun isi semesta. Kalau alam mau diberdayakan oleh pabrik semen, sikap sedulur Sikep cuma bisa mempersilahkan dengan harapan memberi manfaat bagi masyarakat.

Semen nggih mboten menopo. Mboten ditolak. Nek mangkeh kok pabrik nyengsarakke alam lan menungsa, mangkeh dibales dewe karo alam. Entuk bendhune alam. (Semen ya tidak apa-apa. Tidak ditolak. Kalau nanti pabrik menyengsarakan alam dan manusia ya nanti dibalas sendiri oleh alam. Dapat hukuman alam),” kata tokoh Sikep asal Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora itu.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menerima kedatangan Sedulur Sikep dengan duduk lesehan di lantai beralas karpet. Ia sudah dua kali mendengarkan pendapat Sedulur Sikep di luar kelompok penolak Semen Rembang. “Begitulah cara mereka bersikap. Adil, jujur, tidak mau konfrontasi. Mereka tidak mengurusi semen, netral. Kalo ada (yang menolak) mungkin tetap ada, dan tetap dianggap sedulur,” katanya.

 

http://krjogja.com/web/news/read/18796/Sedulur_Sikep_Bantah_Tolak_Semen_Rembang

Sedulur Sikep Bantah Tolak Semen Rembang

Kamis, 15 Desember 2016 / 15:44 WIB

Ganjar Pranowo (kanan) menerima pernyataan masyarakat Samin, Sedulur Sikep seputar sikapnya atas pendirian pabrik semen di Rembang. (Foto: Chandra)

 

SEMARANG (KRJogja.com) – Kedatangan masyarakat Samin atau yang dikenal Sedulur Sikep di Kantor Gubernur Jateng dan terlibat dialog dengan Gubernur Ganjar Pranowo, Kamis (15/12) menepis klaim bahwa Sedulur Sikep menolak Pembangunan Pabrik Semen Indonesia di Rembang.

Sutoyo yang mewakili Sedulur Sikep dari Kabupaten Pati bahkan menyatakan tidak pernah terlibat atau melibatkan diri dalam gerakan aksi yang menyatakan Sedulur Sikep menolak pendirian Pabrik Semen di Rembang.

Pernyataan Sutoyo ini mematahkan klaim para pengunjukrasa penolakan pendirian pabrik semen di Rembang adalah Sedulur Sikep. “Kami Sedulur Sikep punya komitmen atau ajaran dari leluhur yang selalu menjaga perilaku dan tutur kata kami. Kejujuran sangat kami junjung tinggi dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari. Selain itu kami juga menjaga perilaku untuk tidak saling menyakiti atau terlibat konflik. Termasuk urusan pabrik semen, kami juga tidak menolak maupun mendukung, bagi kami asalkan itu baik dan bermanfaat ya silahkan saja mau didirikan atau tidak”, ungkap Sutoyo yang hadir bersama puluhan Sedulur Sikep lainnya dari Kudus, Blora dan Bojonegoro.

Kehadiran para keturunan Sura Sentika, leluhur masyarakat Samin ini juga menegaskan bahwa warga Sedulur Sikep tidak pernah menyatakan diri dan menggerakkan unjukrasa. Namun diakuinya bahwa ada juga mereka yang ikutan unjukrasa namun itu dilakukan bukan atas kehendak atau mewakili warga Sedulur Sikep.

Ganjar Pranowo sangat berterima kasih atas kunjungan warga Sedulur Sikep dan telah menjelaskan secara gamblang atas opini yang berkembang di masyarakat seputar penolakan Sedulur Sikep terhadap pendirian Pabrik Semen Indonesia di Rembang. “Ya dengan begini kita jadi tahu bagaimana sikap para Sedulur Sikep sebenarnya atas pembangunan pabrik semen di Rembang. Memang ada yang ikutan menolak, tapi itu bukan mewakili masyarakat Sedulur Sikep.Bahkan mereka juga menyampaikan tentang sikapnya yang menjaga keluhuran ajaran Sura Sentika”, ungkap Ganjar Pranowo. (Cha)

berita lagi

PABRIK SEMEN KENDENG

Budayawan Tuduh Komunitas Sedulur Sikep Dimanfaatkan

Pabrik semen yang bakal mengeksplorasi karst Pegunungan Kendeng di kabupaten Rembang, eks Keresidenan Pati menurut budayawan diwarnai pemanfaatan Komunitas Sedulur Sikep.

Solopos.com, SEMARANG — Aktivis kesenian yang disebut Kantor Berita Antara sebagai budayawan, Daniel Hakiki, menuduh kalangan pencinta kelestarian lingkungan hidup yang menolak pabrik semen di Kabupaten Rembang telah memanfaatkan Komunitas Sedulur Sikep.

Melalui corong Kantor Berita Antara, Daniel Hakiki memaparkan penolakan atas eksplorasi karst Pegunungan Kendeng di Kabupaten Rembang, eks Keresidenan Pati, Jateng hanya didukung segelintir oknum Sedulur Sikep. Dengan kata lain, sebagian besar Komunitas Sedulur Sikep justru mendukung penambangan gamping demi mendapatkan upah atas pekerjaan baru mereka.

Atas dasar itu, Daniel Hakiki meminta pemanfaatan Komunitas Sedulur Sikep oleh sejumlah pihak dalam pro dan kontra atas eksplorasi karst Pegunungan Kendeng di Kabupaten Rembang, eks Keresidenan Pati itu harus segera dihentikan. Seperti kerap diberitakan, pro dan kontra tersebut menghadapkan warga pencinta kelestarian lingkungan hidup dengan warga yang kini menggantungkan mata pencaharian baru kepada pabrik semen.

“Jika kepentingan segelintir oknum Sedulur Sikep tidak segera dihentikan, maka masyarakat dan komunitas tersebut khawatir kearifan lokal welas asih dan kejujuran yang menjadi karakter utama ajaran Samin akan punah,” katanya sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara di Kota Semarang, Rabu (15/3/2017).

Ia berpandangan bahwa kebudayaan memiliki ranah tersendiri yang seharusya tidak dibaurkan dengan berbagai kebutuhan duniawi semata. “Jika kebudayaan dibaurkan, maka nilai dari kebudayaan itu sendiri akan mengalami degradasi dan lambat laun akan ditinggalkan,” ujarnya.

Menurut Daniel Hakiki, gara-gara pro dan kontra pabrik semen tersebut, masyarakat Samin saat ini disorot banyak pihak karena pemahaman hidup segelintir orang Samin dirasa mulai bergeser kepada ranah politik praktis. Kondisi itu, kata dia, ditandai dengan adanya pergerakan politik dan keduniawian yang masif dari sebagian warganya dan warna tersebut yang kini seakan-akan membawakan eksistensi masyarakat Samin secara umum.

Daniel mengaku khawatir karena hal tersebut dapat mengurangi kearifan atau keluhuran ajaran Samin itu sendiri yang selalu kental dengan nuansa “welas asih” serta kejujuran. “Sebagai ajaran kebudayaan, Samin merupakan ajaran yang sangat tepat untuk menghindari pertikaian dan permasalahan,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah warga Samin di Kabupaten Pati, Jawa Tengah menyatakan merasa dipermalukan terkait dengan permintaan berbagai bentuk bantuan ke sejumlah pihak yang terkait dengan pro dan kontra eksplorasi karst Pegunungan Kendeng di Kabupaten Rembang, eks Keresidenan Pati. “Kami tidak pernah minta bantuan kepada siapapun, tapi oleh Gunretno [tokoh penolak pabrik semen] diomongkan minta bantuan. Itu sama saja njlomprongke kami,” ujar Sutoyo, tokoh Sedulur Sikep di Kabupaten Pati.

Ia mengaku mengetahui Gunretno meminta bantuan dengan mengatasnamakan Komunitas Sedulur Sikep setelah dirinya didatangi sejumlah pihak pemberi bantuan yang berasal dari berbagai daerah. Warga Dukuh Bombong, Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati itu menyebutkan bantuan antara lain berupa benih tanaman dan uang senilai Rp150 juta dari sebuah perusahaan jamu di Kabupaten Semarang.

“Yang ngasih uang ngecek ke saya, menanyakan apakah bantuan yang telah diberikan sudah diterima atau belum, [Sedulur] Sikep tidak rakus dan tidak pernah minta-minta,” katanya dalam bahasa Jawa.

Sutoyo menilai tindakan Gunretno yang meminta bantuan dan melakukan unjuk rasa menolak pabrik semen itu MENYIMPANG dari ajaran Samin. Para leluhur warga Samin, kata dia, tidak pernah mengajarkan pengikutnya untuk iri hati, dengki, bermusuhan, atau menjelek-jelekkan orang lain.

Saya sudah menegur Gunretno tiga kali, saya tanya ajaran Samin yang mana kok mengajak unjuk rasa seperti itu? Dia diam saja, tidak menjawab,” ujarnya.

Ia juga mengaku pernah tiga kali diajak Gunretno berunjuk rasa di Kabupaten Rembang dan Pati untuk menolak pabrik semen. Menurut dia, para pendemo yang melakukan aksi pro dan kontra eksplorasi karst Pegunungan Kendeng, eks Keresidenan Pati dengan pabrik semen di Kabupaten Rembang hanya sebagian kecil dari Sedulur Sikep, sedangkan mayoritas berasal dari desa lain yang seolah-olah merupakan warga Samin. “Sebagian besar Sedulur Sikep tidak mau diajak demo karena tidak sesuai dengan ajaran yang kami anut,” katanya.

http://www.solopos.com/2017/03/15/pabrik-semen-kendeng-budayawan-tuduh-komunitas-sedulur-sikep-dimanfaatkan-801629

asal mula kasus semen rembang

prahara semen rembang

prahara kendeng

semen kendeng untuk siapa

kendeng kawasan sedulur sikep

sedulur sikep tidak menolak pabrik

Leave a comment »

APa sih yang digugat WARGA yang menolak Semen KENDENG ??

Penggugat I : Penggugat I tinggal di Desa Tegaldowo, RT/RW 006/001, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Lokasi Penambangan berdasarkan Keputusan a quo hanya berjarak 500 meter dari Desa Tegaldowo sehingga Penggugat I berpotensi mengalami kerugian yaitu matinya sumber air yang selama ini digunakan untuk minum dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Penambangan semen juga berpotensi menimbulkan debu yang akan mengganggu saluran pernafasan dan iritasi mata;

Penggugat II : Penggugat II bekerja sebagai petani/pekebun. Lahan pertaniannya berada di Desa Suntri, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Pertanian di Desa Suntri mengandalkan air dari sumber mata air yang berada di CAT Watuputih. Dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo berpotensi menghilangkan sumber mata air tersebut;

Penggugat III : Penggugat III bekerja sebagai petani/pekebun. Lahan pertaniannya berada di Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Pertanian di Desa Timbrangan mengandalkan air dari sumber mata air yang berada di CAT Watuputih. Dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo berpotensi menghilangkan sumber mata air tersebut dan berpotensi menimbulkan debu yang akan mengganggu saluran pernafasan dan iritasi mata;

Penggugat IV : Penggugat IV bekerja sebagai petani/pekebun. Lahan pertaniannya berada di Desa Tengger, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang. Pertanian di Desa Tengger mengandalkan air dari sumber mata air yang berada di CAT Watuputih. Dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo berpotensi menghilangkan sumber mata air tersebut;

Penggugat V : Penggugat V tinggal di Desa Bitingan, RT/ RW 001/001, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang. Selama ini Desa Bitingan sudah menerima dampak dari aktivitas penambangan yang sudah ada yaitu berkurangnya sumber mata air dan sering terjadi bencana alam berupa tanah longsor. Dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo akan memperburuk kondisi yang sudah ada;

Penggugat VI : Penggugat VI selain bekerja sebagai wiraswata (penggilingan padi) juga bekerja sebagai petani/ pekebun. Lahan pertaniannya berada di Desa Dowan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Pertanian di Desa Dowan mengandalkan air dari sumber mata air yang berada di CAT Watuputih. Dengan adanya penambangan berdasarkan Keputusan a quo berpotensi menghilangkan sumber mata air tersebut;

Kesimpulannya, Warga Kendeng itu menuntut :

1. Jaminan Sumber Mata Air.

2. Jaminan Terbebas dari polusi debu akibat kegiatan pabrik semen

3. Jaminan tebebas dari bencana alam tanah longsor ! agak-agak… Minta ama tuhan…

Tuntutan Warga KENDENG! FAKTA buka melintir melintir…

Warga kendeng tuntut apaan ????

Warga Kendeng tuntut IBU BUMI… Lihat diatas…apa yang dituntut….

warga kendeng gugat apaan ???

APa sih yang digugat WARGA yang menolak Semen KENDENG ??

Kalo laen daripada diatas… ARTINYA itu TIPU-TIPU. FAKTA….

download sendiri surat gugatannya broooo

cek sama mata sendiri…jangan percaya berita BOHONg apalagi keterangan PALSU

Gak mikirin hidup masyarakat… mikirnya separoooo

Kalau LSM menolak karena apaan ??

Baca sendiri…ane males komentar.

PARAH

488196_Briefing_Paper_Menggugat_Penambangan_dan_Pembangunan_Pabrik_Semen_di_Pegunungan_Kendeng

kuipannya :

Berdasarkan hal tersebut, kami Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri dari: JATAM, HuMa, ICEL, WALHI, PILNET dan ELSAM secara tegas menolak penambangan dan pembangunan pabrik semen di Pengunungan Kendeng Utara, karena penambangan tersebut dapat menyebabkan hilangnya sumber-sumber air di dalam kawasan karst tersebut yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan masyarakat sekitarnya dan menimbulkan bencana lingkungan yang lebih luas.

Comments (1) »

Serba-serbi – Tambang Freeport di Indonesia

Pencemaran Pertambangan PT Freeport di Papua

Pertambangan Freeport tidak saja mencemari lingkungan tapi telah banyak menimbulkan derita dan kematian bagi warga di sekitar pertambangan. Di samping itu, sejumlah kekerasan antara aparat dan penduduk sekitar juga sering terjadi bahkan sampai menimbulkan korban jiwa baik dari kalangan penduduk, pekerja, bahkan aparat kepolisian dan tentara.

Dari sejumlah bencana tambang Freeport ada beberapa yang sampai pada ranah hukum yakni peristiwa tanggal 4 Mei 2000 di mana dam penahan limbah cair ambruk dan tidak mampu menahan beban yang lebih sehingga limbah cair beracun tersebut masuk ke Sungai Wanagon dan Kampung Banti serta membunuh empat penduduk, menghancurkan kandang ternak babi dan kebun warga, merusak kuburan orang suku Amungme dan mencemari 12 kilo meter Sungai Wanagon sampai ke laut.48

Akibat kasus ini, PT Freeport Indonesia digugat oleh WALHI melalui legal standing yang mengatasnamakan lingkungan. Gugatan WALHI didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai domisili kantor pusat Freeport di Jakarta. Dalam kasus WALHI vs Freeport, penggugat meminta Freeport untuk terbuka karena informasi yang dikeluarkan melalui Annual Report mereka dan keterangan yang mereka berikan di DPR dinilai bohong dan menyembunyikan data/kejadian yang sebenarnya. WALHI juga menuntut

Freeport meminta maaf di media nasional dan internasional termasuk televisi nasional dan internasional serta memperbaiki sistem pembuangan tailing mereka agar tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan serupa di masa mendatang. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian tuntutan dari WALHI dengan memerintahkan Freeport untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah mereka. Sayangnya Pengadilan tidak mengabulkan tuntutan permohonan maaf dari penggugat, padahal menurut informasi valid dilapangan, Freeport telah menyembunyikan sebagian besar informasi dan melanggar UU Lingkungan Hidup yang berlaku pada saat itu.

Perusahaan ini sampai sekarang masih memiliki rekam jejak lingkungan yang jelek karena ranking mereka selalu dianggap jelek oleh Tim Penilai “Proper” Pemerintah. Freeport belum pernah mendapatkan lambang “Hijau” dan pernah mendapatkan lambang “Hitam” dari Kementerian Lingkungan Hidup. Freeport bahkan pernah tidak dimasukkan dalam daftar Proper 2011 karena peringkatnya yang jelek. 50

Sumber : Hukum Lingkungan, Teori Legislasi dan Studi Kasus. Hlm.27-28

 

Kasus Walhi vs Freeport 106
Kasus ini bermula dari terjadinya longsoran overburden penambangan PT. Freeport Indonesia di Danau Wanagon, Irian Jaya pada Tanggal 14 Mei 2000, pukul 21.30 WIT. Longsoran tersebut menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden dan air) ke sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah Danau Wanagon. Kejadian tersebut menelan korban jiwa empat orang yang merupakan pekerja subkontraktor tergugat. Karena kejadian ini organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Selatan pada Tanggal 1 November 2000 mengajukan gugatan legal standing ke Pengadilan Negeri Jakarta.
Di dalam positanya penggugat mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa tindakan sengaja menutup-nutupi dan memberikan informasi yang tidak benar dan tidak akurat kepada
publik mengenai bencana yang terjadi. Selain itu penggugat juga mendalilkan bahwa kegiatan penambangan yang dilakukan tergugat telah menyebabkan kerusakan yang sangat hebat. Oleh karena itu tergugat harus bertanggung
jawab secara strict liability.
Dalam petitum primernya penggugat meminta agar majelis hakim antara lain: mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menyatakan tergugat

telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan di dalam petitum subsidernya penggugat hanya meminta agar majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequa et bono).

Di dalam putusannya majelis hakim mengabulkan gugatan tergugat untuk sebagian, yaitu: menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa tindakan memberikan informasi yang tidak benar dan tidak akurat. Majelis hakim juga mengabulkan tuntutan subsider, yaitu memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan tindakan tertentu berupa upaya maksimal untuk meminimalisir terjadinya overburden ke Danau Wanagon.

Sumber : Hukum Lingkungan, Teori Legislasi dan Studi Kasus. Hlm.588-589

Kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) yang berlaku hingga 2021 harus segera dinegosiasi ulang. Potensi kerugian negara akibat kekurangan penerimaan royalti selama 9 tahun terakhir mencapai Rp 1,591 triliun.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menjelaskan, nilai potensi kerugia negara itu didasarkan pada perhitungan hasil perhitungan nilai royalti yang dilakukan ICW selama kurun waktu 2002-2010 dibandingkan dengan pelaporan pembayaran royalti PT FI. Dari laporan keuangan Freeport, perusahaan tersebut telah membayarkan royalti kepada negara senilai 873,2 juta dolar AS. Sementara, berdasar perhitungan ICW, seharusnya total kewajiban royalti PT FI adalah 1.050 juta dolar AS.
“Diduga terjadi kekurangan bayar royalti yang berakibat terjadinya kekurangan penerimaan negara senilai 176,886 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,591 triliun,” ujar Firdaus dalam konferensi pers di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Sela¬tan, Selasa (1/11/2011).
Saat ini, pemerintah tengah melakukan renegosiasi kontrak terhadap 118 perusa¬haan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Sebagai perusahaan berskala besar, PT Freeport Indonesia harus mendapatkan prioritas. “Renegosiasi kontrak karya harus segera dilakukan untuk mempromosikan kepentingan nasional, salah satu diantaranya merealisasikan kewajiban divestasi sebesar 51% untuk pemerintah Indonesia,” lanjut Firdaus.
Selain itu, fokus utama terhadap PT FI mencakup evaluasi produksi tambang. Saat ini, pemerintah menetapkan batas maksimum skala operasi hingga 300.000 ton bijih/hari di Blok A Freeport di kabupaten Mimika, Paniai, Fak Fak dan Jayawijaya, Papua. Melihat dampak buruk terhadap lingkungan tanpa didukung penerimaan memadai, batas ini seharusnya dievaluasi hingga maksimum 200.000 ton bijih perhari.
Pemerintah juga diminta mengevaluasi royalti tambang selain emas, perak, dan tembaga yang selama ini telah dibayarkan. Dalam laporan keuangan PT FI pada 2001-2006, total penerimaan dari belerang dan mineral lainnya mencapai 3885,701 juta dolar AS. Jika belerang dan mineral ikutan dikenakan kewajiban royalti, nilainya mencapai 135 juta dolar AS atau setara dengan Rp 121,5 miliar. “Dalam audit BPK terhadap PT FI pada 2004, BPK meminta Freeport membayar royalti belerang,” tukas Firdaus.
Renegosiasi kontrak wajib direalisasikan segera karena dinilai tidak lagi sesuai dengan aturan perundangan yang ada. Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menyatakan, kontrak karya PT FI telah melecehkan perkembangan reformasi hukum di Indonesia karena berlawanan dengan aturan-aturan baru yang memproteksi sumberdaya nega¬ra seperti UU nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang mengamanat¬kan penerimaan negara dari sektor tambang. “Perjanjian yang seharusnya batal demi hukum,” tegas Nurkholis.
Pemerintah, menurut Nurkholis, dapat mengajukan gugatan kepada PT FI untuk segera membayarkan kekurangan royalti jika perusahaan yang beroperasi sejak 1973 itu menolak renegosiasi kontrak. Hal tersebut pernah dilakukan saat pemerintah menggugat PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) yang dinilai mencemari Teluk Buyat di Minahasa. Gugatan itu berakhir damai, ketika PT NMR mau membayar ganti rugi senilai 40 juta dolar AS. Dila
Sumber : Buletin ICW Edisi 4/Desember/2011

WAWANCARA
Firdaus Ilyas
SBY Harus Tegas
Rencana renegosiasi kontrak karya sejumlah perusahaan tambang hingga saat ini belum terealisasi seratus persen. Pemerintah terkesan ragu-ragu menggunakan kewenangannya untuk meninjau ulang kontrak demi mendapat hasil terbaik dari pengelolaan industri ekstraktif.
Rencana renegosiasi kontrak karya sejumlah perusahaan tambang hingga saat ini belum terealisasi seratus persen. Pemerin¬tah terkesan ragu-ragu menggunakan kewenangannya untuk meninjau ulang kontrak demi mendapat hasil terbaik dari pengelolaan industri ekstraktif.
Salah satu perusahaan tambang terbesar yang beroperasi di kawasan timur Indonesia, PT Freeport Indone¬sia (PT FI), bersikeras menolak ren¬cana renegosiasi karena berpedoman pada kontrak yang telah ditanda¬tangani pada 1991. Menghadapi PT FI, pemerintah seakan hilang akal. “Yang diperlukan adalah ketegasan dan keseriusan pemerintah. Karena dasar renegosiasi sangat kuat,” ujar koordinator divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, Rabu (7/12/2011).
Berikut petikan wawancara http://www.antikorupsi.org dengan Firdaus Ilyas:
PT Freeport Indonesia termasuk perusahaan yang “bandel”, belum mau renegosiasi kontrak. Perlukah SBY turun tangan? Sebab Freeport telah sejak awal berinvestasi telah melakukan perjanjian dengan sistem goverment to business, bahkan langsung dengan Soeharto dan kaki tangannya..
Bicara renegosiasi kontrak sebe¬narnya merupakan isu lama. Untuk PT FI bahkan sudah dibicarakan soal rencana renegosiasi kontrak sejak 2005. Lalu, pada 2006, dibentuk tim renegosiasi di bawah koordinasi Men¬teri Koordinator Ekonomi. Juni 2011 Presiden SBY melontarkan kembali kembali soal renegosaisi ini.
Alasannya renegosiasi sangat kuat, yakni UU Minerba tahun 2009. Alasan kedua, melihat kecilnya pen¬erimaan negara dari royalti.
…, …
Di dalam kontrak karya PT FI ada klausul kewajiban divestasi. Namun kemudian ditambah satu lagi pasal, yang intinya kalau pemerintah mengeluarkan peraturan lebih men¬guntungkan perusahaan, kewajiban sebelumnya bisa gugur. Ketika awal¬nya ada kewajiban divestasi, namun kemudian ada aturan baru yang lebih menguntungkan perusahaan, bisa gugur.
Kontrak PT FI ditandatangani tahun 1991. Pada 1994 terbit UU Penanaman Modal Asing yang membolehkan struktur kepemilikan modal perusahaan bisa dimiliki 100 persen pihak oleh asing. Akhirnya inilah yang dirujuk. Banyak pihak curiga lahirnya peraturan ini atas lobi dari PT FI.
Sumber : Buletin ICW Edisi 4/Desember/2011

Freeport, Potret Buram Pengelolaan Lumbung Emas Grasberg
…, …
Merujuk pada laporan tahunan Freeport-McMorran Copper &  Gold Inc. (FCX), bukit Grasberg, atau yang saat ini lebih tepat disebut lubang Grasberg, merupakan lokasi tambang dengan cadangan emas dan tembaga paling besar di dunia. Disebutkan dalam Annual Report (AR) FCX tahun 2010 tambang Grasberg mempunyai cadangan 32,7 miliar pounds tembaga dan 33,7 juta ounce emas. Cadangan emas Grasberg merupakan yang terbesar dibanding lokasi tambang FCX lainnya.
Nilai tambang yang begitu fantastis, sayangnya, tidak secara langsung mengalirkan manfaat bagi perekonomi¬an Indonesia. Pada 2010, PT FI mengklaim telah memberikan manfaat langsung sekitar Rp 17,4 triliun kepada pemerintah. Jumlah ini terlampau kecil bila dibanding¬kan total revenue FCX tahun 2010 sebesar 18.982 mil¬lion US$ (sekitar Rp 170,84 triliun dengan kurs 9.000). Nilai Rp 17,4 triliyun yang dibayarkan kepada Indonesia hanya setara dengan 0,10 dari total revenue yang dinikmati FCX.
Tambang Grasberg merupakan penyumbang terbesar total revenue yang diterima FCX sebagai induk PT FI. Bahkan, dalam laporan tahunan perusahaan disebut¬kan dengan tegas bahwa “tanpa tambang Grasberg, FCX tidak akan ada. Tambang Grasberg menjadikan FCX sebagai perusahaan tambang terbesar di dunia”.
Dalam KK PT FI, salah satu kewajiban pembayaran ke¬pada pemerintah Indonesia adalah iuran tetap dan iuran produksi (royalti). Iuran tetap dihitung berdasarkan luas wilayah KK dikalikan tarif (US$ 3) per Ha/tahun. Tarif royalti tembaga 1,5%-3,5% dari harga jual, emas dan perak 1% dari harga jual. PT FI juga dikenakan royalti tambahan untuk tingkat produksi bijih di atas 200.000 ton (maksimal 300.000 ton) per hari dengan tambahan royalti untuk tembaga sebesar 100%, emas dan perak 200%.
Perhitungan royalti itu jauh lebih rendah bila dibandingkan patokan tarif yang disebutkan dalam PP No 13 Ta¬hun 2000 dan PP No 45 Tahun 2003. Tarif royalti untuk tembaga adalah 4%, emas 3,75% dan perak 3,25%.
Sumber : Buletin ICW Edisi 4/Desember/2011

 

Renegoisasi Kontrak untuk Kedaulatan Tambang

Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah hanya akan jadi kutukan jika tidak ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. Pengelolaan tambang harus diatur sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat, bukan menguntungkan segelintir pihak pemegang kontrak kuasa pertambangan.
UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 secara tegas menyebutkan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang ini menjadi landasan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan pertambangan di Indonesia.
Falsafah kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan tambang diamini oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jelas dinyatakan Undang-undang, mineral yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaan tambang harus dikuasai oleh negara,…,…

Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah hanya akan jadi kutukan jika tidak ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. Pengelolaan tambang harus diatur sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat, bukan menguntungkan segelintir pihak pemegang kontrak kuasa pertambangan. Sumber (Buletin ICW Edisi 3/Oktober/2011)

Sebelumnya, patut diingat sebagai catatan, Proses pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) oleh sebesar 7 persen oleh pemerintah tidak berjalan mulus. Akibat adanya pemburu rente!.

Baca dampak lingkungan PT Freeport unduh Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua

Baca Suara Tambang ICW SUARA+TAMBANG4

dan SUARA+TAMBANG3

Baca materi terkait Korupsi di bidang Migas dan Tambang Transparansi+Migas_ICW_29Sept10

 

Ketika Mereka Menyoal Freeport, dari Kerusakan Lingkungan sampai Pengabaian Hak Orang Papua
March 23, 2017 Della Syahni, dan Indra Nugraha, Jakarta Energi (http://www.mongabay.co.id/2017/03/23/ketika-mereka-menyoal-freeport-dari-kerusakan-lingkungan-sampai-pengabaian-hak-orang-papua/)
Seorang lelaki berjas, celana jeans dan kacamata hitam berdiri di hadapan lima orang warga (petani). Di tubuh lelaki itu tergantung tulisan ‘Boss Freeport’, di bagian depan dan ‘Jim Bob’ di bagian punggung .
Tampak juga warga bercaping, muka coreng berpakaian cabik, kaki dirantai, dan tangan terikat. ‘Boss Freeport’ mencambuk, menendang dan menyiksa warga. Mereka mengerang kesakitan. Memohon ampun.

‘Jim Bob’ tak peduli.
Kelima petani berontak. Mengangkat cangkul dan parang, berbalik menghajar ‘Boss Freeport’ hingga lumpuh.
Itulah aksi teatrikal oleh Sanggar 33 di Gedung Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (13/3/17). Ia gambaran pendudukan perusahaan tambang, PT. Freeport Indonesia (Freeport), di Papua sejak 1967.
Jim Bob, nama panggilan James Moffet, salah satu mantan Dewan direksi Freeport yang mundur dan jadi konsultan dewan direksi dan penasihat khusus operasional perusahaan di Indonesia. Bob, orang yang berperan penting mengembangkan tambang emas dan tembaga Grasberg milik Freeport di Papua.
“Selama 50 tahun, banyak kerusakan ekologi karena tambang Freeport, pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah adat Suku Amungme dan Kamoro tak pernah dibayar Freeport. Masyarakat Papua hidup di tengah limbah kimia,” kata Rudi Hartono, Wakil Sektretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik, Rudi Hartono dalam orasi.
Dengan kerusakan sosial dan ekologi di Papua, katanya, negara harus hadir dan bertanggungjawab.
Freeport, sepertinya mau tetap mau model bisnis, dimana investor sebagai tuan dan Indonesia jadi pelayan.
Belum lagi,  soal penolakan Freeport atas divestasi saham 51% dan perubahan status dari kontrak karya jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Freeport menolak divestasi dengan alasan, KK yang ditandatangani bersama pemerintah pada 1991 hanya mengatur divestasi 30%. Penolakan IUPK karena kewajiban membangun smelter  dan aturan pajak dan royalti bersifat prevailing atau sewaktu-waktu dapat berubah.
“Kami sampaikan kepada Kementerian ESDM, jika Freeport tak mau hargai kedaulatan Indonesia, tak perlu ada perundiangan lagi. Kita sudah tak ingin model bisnis terus merusak sumber daya alam.”
Hendri Kurniawan, Juru Bicara Gerakan Nasional Pasal 33 UUN 1945, mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia mencoba bersikap tegas terhadap Freeport.
“Bahkan pemerintah melalui KESDM sanggup berhadapan di pengadilan arbitrase internasional jika Freeport tak tunduk dan patuh peraturan Indonesia,” katanya.
Wacana membawa kisruh ini ke pengadilan arbitrase internasional muncul kala Presiden dan CEO Freeport Richard C. Adkerson menyatakan, beri waktu 120 hari kepada pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan.
Hardikan ini, katanya, jadi alasan lebih kuat, pemerintah tak memperpanjang KK yang berakhir 2021. “Dengan momentum berakhir KK Indonesia punya kesempatan memperoleh kepemilikan penuh kekayaan tambang. Sudah saatnya pemerintah Indonesia menata ulang pengelolaan tambang berbasis kemandirian dan kesejahteraan,”  katanya.
Penataan ulang ini, usul Hendri harus melibatkan pemerintah daerah, BUMN maupun BUMD dan rakyat Papua secara langsung dengan konsep koperasi rakyat maupun tambang rakyat.
Selang seminggu, puluhan massa terdiri dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Senin (20/3/17) aksi di depan Kantor Freeport di Jakarta.
Sebagian mahasiswa, laki-laki dan perempuan mencat tubuh mereka, sebagian tubuh ke bawah putih dan biru langit, bagian atas termasuk wajah dan tangah merah dengan gambar bintang putih di tengah.
“Papua bukan merah putih! Papua Bintang Kejora (bendera Papua Merdeka_red),” yel-yel mereka.
Aksi ini menyusul kisruh pemerintah Indonesia dengan Freeport yang dinilai tak melibatkan masyarakat Papua sebagai pihak terdampak langsung.
“Freeport tak hanya merampok kekayaan alam, memberangus demokrasi, melanggar HAM hingga membuat rakyat Papua miskin, juga merusak lingkungan,” kata Frans Nawipa, mewakili AMP.
Data mereka, setiap hari operasi penambangan Freeport, membuang 230.000 ton limbah batu ke Sungai Aghawagon dan sungai sekitar. Ada 360.000-510.000 ton per hari limbah asam mencemari dua lembah sekitar 6,5 kilometer hingga kedalaman 300 meter.
“Kali ini dalam kisruh pemerintah Indonesia dan Freeport soal IUPK, lagi dan lagi rakyat dan bangsa Papua tak dilibatkan.”
Mereka tak setuju nasionalisasi Freeport. Tuntutan mereka, antara lain, Indonesia menutup Freeport, mengaudit kekayaan perusahaan, memberikan pesangon untuk buruh perusahaan, audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan. Lalu menarik TNI/Polri dari tanah Papua, usut pelanggaran HAM, berikan hak menentukan masa depan pertambangan Papua dan mengharuskan Freeport merehabilitasi lingkungan dampak tambang.

Aksi teatrikal aktivis di Jakarta, menyuarakan protes pada Freeport. Foto: Della Syahni

Saham Freeport
Terkait rencana divestasi saham Freeport yang digadang pemerintah sebesar 51%, Pemkab Mimika minta 20%. Bupati Mikika Eltinus Omaleng dalam peluncuran buku berjudul “Papua Minta Saham” awal Maret mengatakan, 20% itu harga mati.
“Kami pertahankan. Kalau kami tak dikasih, perusahaan tambang manapun tak boleh masuk. Selama dua hari kami sudah bertemu Pak Jonan (Menteri ESDM-red) dan Pak Luhut (Menteri Maritim-red), respon mereka luar biasa,” katanya.
Dia bilang, sambutan Jonan positif. Kalau divestasi 51% jadi, rakyat Papua akan dapat saham. “Pak Luhut juga mengatakan seperti itu. Kami senang.”
Eltinus menulis sendiri buku itu. Ia berisi sekelumit permasalahan masyarakat Papua setelah perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu berdiri di bumi Cendrawasih.
Betapa penderitaan masyarakat mulai dari tergusur dari tanah ulayat, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan lain-lain. Jadi, katanya, kalau rakyat Papua minta saham 20% bukan hal besar dibandingkan penderitaan.
Dia mengatakan, sebenarnya 20% masih sangat kecil. Jumlah itu terbagi-bagi, 10% untuk pemda, 10% lain untuk masyarakat adat Amungme dan Komoro,  yang selama ini jadi korban.
“Kita miskin di atas miskin. Miskin di atas emas, di atas tembaga.”
Dia bilang, Freeport ini macam pemerintah dalam pemerintah. Selama ini, mereka meminta Freeport berbuat untuk warga tetapi tak mau dengar.
“Minta buka jalan sedikit saja tak bisa. Tak mau. Untuk pendidikan, kami punya warga jadi pekerja di Tembagapura dan memiliki anak-anak, untuk sekolahkan saja mereka tak mau terima. Apalagi masyarakat lain? Tak boleh masuk.”
Dia juga , Freeport membangun smelter di Mimika. Sebelumnya, dia sudah siapkan lahan 300 hektar dan bahas dengan Komisi II DPR.
“Kami mengejar soal smelter karena mungkin melalui itu bisa mengurangi pengangguran.”
Dengan masyarakat Papua punya saham, bisa menentukan nasib dan ikut bersuara dalam menentukan masa depan tambang sekaligus berkontribusi bagi kesejahteraan warga Papua.
Janes Natkime, perwakilan masyarakat adat Suku Amungme mengatakan, selama ini warga jadi korban atas kepentingan Amerika Serikat dan Indonesia.
“Dua negara ini rampas hak asasi, hak adat kami. Sekarang kami datang kepada pemerintah mengadukan nasib kami.”
Dia bilang, hampir 50 tahun tak ada keadilan bagi masyarakat Amungme. “Selama ini gunung-gunung kami habis, lahan hidup habis atas kepentingan dua negara. Masyarakat juga mulai punah akibat pertambangan Freeport di Papua.”
Suku Amungme dan Kamoro, katanya, susah hidup. Lahan berburu mereka sudah jadi pertambangan Freeport.
“Kemudian zat kimia, masyarakat banyak jadi korban. Banyak luka-luka di kaki dan badan. Kalau orang injak sungai, akan luka.”
“Masyarakat susah hidup. Hewan seperti ikan, katak, ular tak ada lagi. Pohon-pohon di pinggir sungai mati. Masyarakat sekarang ini bertahan di pinggiran saja, meski masih di area penambangan. Namun untuk berburu sulit.”

Leave a comment »

Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan atau Kasus Lingkungan

BAB I

PENDAHULUAN

Prosedur beracara di persidangan dalam penanganan perkara perdata, pidana dan tata usaha negara telah diatur dalam berbagai hukum acara masing-masing serta dalam berbagai PERMA, demikian pula substansi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan perundang-undangan sektor terkait. Namun demikian, dalam praktik beracara masih terdapat perbedaan pemahaman dan penerapan di antara para hakim.

Dalam menangani perkara lingkungan hidup para hakim diharapkan bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence), oleh karenanya hakim lingkungan haruslah berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dan melakukan judicial activism, sehingga Mahkamah Agung perlu menyusun dan memberlakukan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup ini.

Perkara lingkungan hidup mempunyai karateristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya. Perkara lingkungan hidup merupakan suatu perkara atas hak yang dijamin di dalam konsitusi, dalam hal ini adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu, perkara lingkungan hidup juga dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dengan pihak yang memiliki akses terbatas.

 

Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup ini ditujukan untuk :

  1. Membantu para hakim baik hakim pada peradilan tingkat pertama, tingkat banding, dan Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugasnya untuk memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup;
  2. Memberikan informasi terkini bagi hakim dalam memahami permasalahan lingkungan hidup dan perkembangan hukum lingkungan;
  3. Melengkapi hukum acara perdata yang berlaku yakni HIR/RBG, BUKU II dan peraturan lainnya yang berlaku dalam praktek peradilan.

 

BAB II

PRINSIP – PRINSIP PENAATAN DAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

Dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim terlebih dahulu harus memahami asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental policy) yang meliputi:

  1. Prinsip Substansi Hukum Lingkungan (Substantive Legal Principles)
  2. Prinsip-prinsip Proses (Principles of Process)
  3. Prinsip Keadilan (Equitable Principles)

 

  1. Prinsip Substansi Hukum Lingkungan (Substantive Legal Principles)

Beberapa prinsip subtansi hukum lingkungan yang perlu untuk menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara lingkungan hidup adalah: (1) Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan, (2) Prinsip Kehati-hatian, (3) Prinsip Pencemar Membayar, serta (4) Prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

 

  1. 1. Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm).

Prinsip ini memandatkan adanya penyesuaian aturan ditingkat nasional dengan aturan dan standar internasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol kerugian negara lain akibat suatu kegiatan di dalam negeri. Untuk menghindari kerugian negara lain tersebut, suatu negara wajib melakukan due diligence, yaitu upaya yang memadai dan didasarkan pada itikad baik untuk mengatur setiap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan, antara lain dengan membatasi jumlah polutan yang masuk ke media lingkungan, salah satunya dengan menetapkan standar. Prinsip ini berangkat dari pemikiran bahwa masing-masing bagian dari ekosistem saling tergantung satu sama lain tanpa memandang batas-batas negara.

Untuk menerapkan prinsip ini dapat digunakan beberapa mekanisme antara lain melalui perizinan (termasuk penetapan syarat operasi dan konskuensinya apabila melanggar), penentuan standar dan pembatasan emisi, serta penggunaan best available techniques. Selain itu, penerapan prinsip ini juga dapat dilakukan dengan memberlakukan penilaian (assessment) awal, monitoring, dan pemberian informasi atas dilakukannya suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan.

Prinsip ini penting dipahami oleh hakim terutama dalam memahami bahwa lingkungan merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain tanpa mengenal batas wilayah. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan pada suatu wilayah atau komponen lingkungan hidup tertentu akan mempengaruhi wilayah atau komponen lingkungan hidup lainnya. Dalam konteks demikian, perizinan lingkungan harus dipandang bukan sekedar formalitas administrasi belaka akan tetapi merupakan instrument pencegahan dan control penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, makna penting perizinan bukan hanya terletak pada keberadaan formalnya semata, akan tetapi pada substansi dan implementasinya.

 

  1. 2. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle).

Prinsip ini bersumber dari prinsip 15 Deklarasi Rio : ”Untuk melindungi lingkungan, prinsip kehati-hatian harus diterapkan di setiap negara sesuai dengan kemampuan negara yang bersangkutan. Apabila terdapat ancaman kerusakan yang serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan penurunan fungsi lingkungan.” Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian ini, maka hakim wajib mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi dan memutuskan apakah pendapat ilmiah didasarkan pada bukti dan metodologi yang dapat dipercaya dan telah teruji kebenarannya (sah dan valid). Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1479 K/Pid/1989 dalam perkara pencemaran Kali Surabaya, mendefinisikan bahwa suatu alat bukti dianggap sah apabila proses pengambilannya dilakukan dalam rangka pro yustisia dengan prosedur acara yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sedangkan alat bukti dianggap valid apabila proses pengambilan dan pemeriksaannya didasarkan pada metodologi ilmu pengetahuan yang paling sahih, terbaru, dan diakui oleh para ahli dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Prinsip ini dikenal pula dengan istilah In Dubio Pro Natura, terutama dalam penerapan untuk perkara perdata dan Tata Usaha Negara di bidang lingkungan hidup.

Penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai instrumen, misalnya dalam menentukan pertanggungjawaban (liability rule) pihak yang diduga melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Dalam menentukan pertanggungjawaban, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu (i) kealpaan dan (ii) strict liability.

 

  1. Kealpaan; Terkait dengan kealpaan, orang yang menyebabkan kerusakan tersebut harus bertanggungjawab apabila yang bersangkutan menerapkan prinsip kehati-hatian di bawah standar atau menerapkan tidak sebagaimana mestinya.

 

  1. Strict liability; Dalam hal strict liability, orang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan tersebut bertanggungjawab untuk memberikan kompensasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Di sini, biaya sosial harus ditanggung oleh pelaku. Untuk mencegah agar pelaku tidak menanggung biaya sosial yang besar, maka seharusnya pelaku melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Dalam strict liability ini, pelaku tetap harus bertanggungjawab walaupun sudah secara optimal menerapkan prinsip kehati-hatian.

 

  1. 3. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle).

Prinsip ini merupakan bagian dari instrumen pencegahan (preventif) dalam penaatan dan penegakan hukum lingkungan. Dalam prinsip ini, mereka yang memiliki itikad baik untuk melakukan upaya pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, antara lain dengan memilih dan menerapkan teknologi dan/atau kebijakan yang lebih ramah lingkungan seharusnya memperoleh insentif ekonomi, misalnya melalui mekanisme pajak, retribusi, keringanan pajak impor dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang melakukan usaha tanpa itikad baik untuk melakukan pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup harus memperoleh “disinsentif”.

Banyak kesalahfahaman dalam memahami prinsip ini, sehingga dianggap bahwa siapa pun boleh mencemari asalkan mau membayar. Oleh karena itu, Hakim dalam memeriksa, mengadili perkara lingkungan hidup diharapkan dapat menempatkan prinsip ini secara tepat, khususnya dalam menentukan faktor-faktor pemberian dan peringan hukuman.

 

  1. 4. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).

Prinsip ini menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan menghendaki terjaminnya kualitas hidup yang baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang melalui pelestarian daya dukung ekosistem. Artinya dalam proses dan capaian pembangunan harus terdapat keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan pelestarian dan perlindungan ekosistem agar generasi yang akan datang memiliki kemampuan yang sama untuk mendapatkan kualitas hidupnya. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah:

  1. a) Mempertahankan pertumbuhan ekonomi namun mengubah kualitasnya sehingga tidak merusak lingkungan dan kondisi sosial;
  2. b) Memenuhi kebutuhan akan pekerjaan, pangan, energi, air, dan sanitasi;
  3. c) Memastikan pertumbuhan penduduk agar tidak melebihi daya dukung bumi;
  4. d) Melindungi dan meningkatkan sumber daya alam;
  5. e) Reorientasi teknologi dan manajemen resiko;
  6. f) Memadukan kepentingan ekonomi dan lingkungan dalam setiap tahap pengambilan keputusan.

 

  1. Prinsip-prinsip Proses (Principles of Process)

Ketika seorang hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara lingkungan, maka pada saat itu ia sedang memastikan berjalannya proses penaatan dan penegakan hukum lingkungan yang baik. Beberapa prinsip yang harus menjadi pertimbangan hakim untuk memastikan proses penaatan dan penegakan hukum lingkungan berjalan dengan baik adalah: (1) Prinsip Pemberdayaan Masyarakat, (2) Prinsip Pengakuan Terhadap Daya Dukung dan Keberlajutan Ekosistem, (3) Prinsip Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Sekitar, serta (4) Prinsip Daya Penegakan.

 

  1. 1. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Prinsip ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup (termasuk penaatan dan penegakan hukum) harus mengakui aspek pemberdayaan masyarakat (people’s empowerment) melalui berbagai peluang agar masyarakat mempunyai akses dalam proses pengambilan keputusan. Untuk itu pemenuhan akses informasi dan partisipasi masyarakat harus dijamin. Pengaturan ini untuk menjamin hak masyarakat, khususnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam dan ekosistemnya atau yang potensial terkena dampak akibat suatu kegiatan, memperoleh akses keadilan apabila haknya dilanggar serta memperoleh perlindungan hukum ketika memperjuangkan haknya atas lingkungan hidup yang sehat. Untuk menerapkan konsep ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

 

  1. 2. Prinsip Pengakuan Terhadap Daya Dukung dan Keberlanjutan Ekosistem

Prinsip ini sangat penting untuk melindungi sumber daya alam tertentu yang rentan terhadap eksploitasi, kerusakan dan kepunahan. Pengakuan ini tidak terbatas pada pengakuan tekstual tetapi juga secara konsisten pengakuan tersebut harus diterapkan ketika memeriksa dan mengadili perkara untuk memperjelas langkah-langkah pencegahan serta penanggulangan perusakan dan/atau pencemaran sumber daya alam dan lingkungan melalui piranti manajemen lingkungan, instrumen ekonomi, instrumen daya paksa, sanksi moral maupun kontrol publik. Dalam hal ini, penting bagi hakim untuk menerapkan prinsip ini dalam mengambil putusan tentang perintah melakukan tindakan tertentu.

 

B.3. Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Setempat.

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi di mana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi harus menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memriksa dan mengadili suatu perkara lingkungan.

Pengakuan ini diperlukan mengingat pada umumnya masyarakat adat dan setempat bergantung hidupnya pada sumber daya alam dan lingkungan sekelilingnya. Pengakuan juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas hak-hak mereka dari arus pembangunan dan penanaman modal yang berlangsung dengan sangat cepat dan masiv.

 

B.4. Daya penegakan (Enforceability)

Daya penegakan ditentukan oleh: (a) ketersediaan sanksi yang mampu menimbulkan efek jera (detterent effect); (b) ketersediaan 3 jenis sarana sanksi yang terdiri dari sanksi administrasi, perdata, dan pidana; (c) ketersediaan mekanisme pengaduan masyarakat dan penindaklanjutannya terhadap pelanggaran-pelanggaran hak yang dialami oleh masyarakat; (d) ketersediaan mekanisme pengawasan terhadap penaatan persyaratan lingkungan; (e) ketersediaan institusi dan aparat yang berkualitas dan berintegritas untuk melakukan pengawasan penaatan, penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, bahkan hingga pelaksanaan putusan pengadilan.

Dalam konteks penanganan perkara, maka seorang hakim dalam putusannya harus mempertimbangkan kemampuan hukuman yang dijatuhkan untuk memberikan efek jera, menguatkan mekanisme pengawasan untuk menjamin tidak berlanjutnya pelanggaran dan terlindunginya hak masyarakat atas lingkugan hidup yang baik dan sehat.

 

  1. Prinsip Keadilan (Equitable Principles)

Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan lingkungan, antara lain: (1) Prinsip Keadilan Antar Generasi, (2) Prinsip Pembagian Beban Tanggungjawab Bersama Secara Proporsional, serta (3) Prinsip Keadilan Pemanfaatan Sumber Daya.

 

C.1. Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity) dan Antar Generasi

(Intergenerational Equity)

Prinsip ini didasarkan pada pemahaman bahwa setiap makhluk hidup sangat tergantung pada sumber daya alam dan tidak dapat dipisahkan dari ekosistemnya. Oleh karena itu, lingkungan hidup dan sumber daya alam hendaknya dikelola secara berkeadilan tidak saja bagi generasi saat ini, tetapi juga bagi generasi yang akan datang.

Beberapa elemen kunci dari prinsip ini adalah: 1) Masyarakat termasuk masyarakat di seluruh dunia antara satu generasi dengan generasi lainnya merupakan mitra; 2) Generasi sekarang harus tidak memberikan beban eksternalitas pembangunan kepada generasi selanjutnya; 3) Setiap generasi mewarisi kekayaan sumber daya alam serta kualitas habitat dan harus meneruskannya kepada generasi berikutnya dalam keadaan generasi tersebut yang akan datang memiliki peluang yang kurang lebih ekuivalen secara fisik, ekologis, sosial, dan ekonomi; 4) Generasi sekarang tidak dibenarkan meneruskan kepada generasi berikutnya sumber alam yang tidak dapat diperbarui secara eksak (pasti). Demikian juga kita tidak dapat menduga kebutuhan atau preferenasi generasi yang akan datang. Generasi sekarang harus memberikan fleksibilitas kepada generasi berikutnya untuk mencapai tujuan mereka sesuai dengan nilai yang diyakininya.

 

C.2. Pembagian Beban Tanggungjawab Bersama Secara Proporsional (Common but Differentiated Responsibility)

Prinsip ini menekankan adanya tanggung jawab yang proporsional antara negara-negara maju yang pada umumnya negara-negara industri untuk ikut bertanggung jawab dan membantu negara-negara berkembang dalam mengatasi permasalahan degradasi fungsi lingkungan. Hal ini didasarkan pada perjalanan sejarah bahwa negara-negara maju telah berkontribusi terhadap degradasi lingkungan untuk mencapai kesejahteraan yang dinikmati saat ini.

Prinsip 7 : Deklarasi Rio menegaskan :

“ States shall cooperate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth’s ecosystems. In view of the different contributions to global environmental degradation, State have common but differentiated responsibilities.

The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.”

(“Negara-negara akan bekerja sama dalam semangat kemitraan global untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan dan keutuhan ekosistem bumi. Mengingat kontribusi yang berbeda terhadap degradasi lingkungan global, Negara memiliki tanggung jawab bersama namun berbeda. Negara-negara maju mengakui tanggung jawab mereka dalam upaya internasional menuju pembangunan berkelanjutan mengingat tekanan masyarakat mereka tempat di lingkungan global dan mengingat teknologi dan sumber daya keuangan yang mereka miliki.”)

Prinsip 7 ini memberikan alasan adanya perbedaan perlakuan atau kewajiban yang disebabkan, pertama, perbedaan kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua, karena adanya perbedaan kapasitas dalam menyelesaikan masalah dan memuluskan cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara khusus dalam hal kepemilikan dana keuangan dan kemajuan teknologinya.

Prinsip Common but Differentiated Responsibilities ini mengandung dua pokok pikiran:

1) Penegasan bahwa tiap-tiap negara memiliki tanggung jawab bersama dan sama untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional maupun global; tanpa melihat negara besar atau kecil.

2) Usaha pencegahan, pengurangan dan pengawasan atas ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi

 

C.3. Keadilan Pemanfaatan Sumber Daya (Equitable Utilization of Shared Resources)

Prinsip ini menekankan pentingnya alokasi penggunaan sumber daya alam yang terbatas secara berkelanjutan dan berkeadilan, berdasarkan pada faktor kebutuhan, penggunaan oleh generasi sebelumnya, hak kepemilikan/pengusahaan, dan kepentingan.

Hak kepemilikan/pengusahaan merujuk pada proporsi jumlah penduduk, keadilan, dan prioritas penggunaan sumber daya (dalam artian sumber daya yang ada tidak dihabiskan sekaligus, tetapi digunakan sesuai dengan prioritas secara bersamaan mencari alternatif sumber lain dan merevitalisasi sumber daya yang telah digunakan).

 

Selengkapnya dapat di download di ”

sk-mahkamah-agung-nomor-036_kma_sk_ii_2013-pedoman-perkara-lingkungan

Leave a comment »

Pedoman Perubahan Izin Lingkungan – Adendum Amdal Sesuai dengan PP No. 27 Tahun 2012

Download pedoman tata cara perubahan izin lingkungan

adendum amdal
materi dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan

perubahan-izin-lingkungan-ary-sudijanto

 

 

Leave a comment »

Perubahan Izin Lingkungan – Adendum Amdal – Revisi

Menurut Pasal 1 Butir 35 UUPPLH 32/ 2009, Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/ atau kegiatan. Terkait hal tersebut, dalam Pasal 36 ayat (1), menetapkan, bahwa Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.

 

Pasal 73 PP Izin Lingkungan 2012, “Dokumen lingkungan yang telah mendapat persetujuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku dan dipersamakan sebagai Izin Lingkungan”.

 

Catatan :

Ketiadaan sanksi jika pemrakarsa tidak mengajukan izin lingkungan.

HGU BTLA tahun berapa ? dengan kata lain, kegiatan sudah berjlan. Jadi seharusnya tidak dapat disusun UKL-UPL tapi DPLH.

 

Pasal 50

(1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan, apabila Usaha dan/atau Kegiatan yang telah memperoleh Izin Lingkungan direncanakan untuk dilakukan perubahan.

 

(2) Perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan;
  2. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
  3. perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang memenuhi kriteria:
  4. perubahan dalam penggunaan alat-alat produksi yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup;
  5. penambahan kapasitas produksi;
  6. perubahan spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;
  7. perubahan sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
  8. perluasan lahan dan bangunan Usaha dan/atau Kegiatan;
  9. perubahan waktu atau durasi operasi Usaha dan/atau Kegiatan;
  10. Usaha dan/atau Kegiatan di dalam kawasan yang belum tercakup di dalam Izin Lingkungan;
  11. terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
  12. terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain, sebelum dan pada waktu Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan;
  13. terdapat perubahan dampak dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan hidup yang diwajibkan; dan/atau
  14. tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak

diterbitkannya Izin Lingkungan.

 

(3) Sebelum mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.

 

(4) Penerbitan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dilakukan melalui:

  1. penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru; atau
  2. penyampaian dan penilaian terhadap adendum Andal dan RKL-RPL.

 

(5) Penerbitan perubahan Rekomendasi UKL-UPL dilakukan melalui penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru.

 

(6) Penerbitan perubahan Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal.

(7) Penerbitan perubahan Izin Lingkungan dilakukan bersamaan dengan penerbitan perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.

 

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.

Leave a comment »

Menyambut Babak Baru Karst Kendeng

Kita menyambut baik keputusan Gubernur Jawa Tengah melaksanakan Putusan Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur No 6601/ 4 Tahun 2017. Sebagaimana diberitakan Kompas (17/2017), bahwa Gubernur Ganjar Pranowo menyatakan batal dan tidak berlaku, Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/ 17/ 2012 tanggal 7 Juni 2012 sebagaimana telah diubah oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah 660.1/ 30/ 2016 tanggal 9 November 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Pabrik Semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

 

Lonceng pertanda, selesainya babak kedua konflik pemanfaatan sumber daya alam (SDA) di kawasan karst Pengunungan Kendeng Utara. Sebab inilah kali kedua, PT. Semen Gresik (Semen Indonesia) dibatalkan perizinannya oleh Putusan MA, yang berakibat gagalnya pemanfaatan SDA karst Kendeng.

 

Ketergantungan pembangunan pada pemanfaatan SDA serta investasi yang sudah terlanjur basah, menjadikan babak baru (babak ketiga) adalah suatu hal yang sulit untuk dinafikan. Semua pihak tentu menginginkan konflik tidak terulang lagi. Babak ini diharapkan dapat diselesaikan secara berkeadilan, komprehensif dan tuntas. Karena itu, beberapa catatan dari konflik sebelumnya, bisa diambil sebagai pelajaran bagi semua pihak.

 

Aspek pertama adalah kinerja birokrasi perizinan. Pencabutan izin lingkungan membuktikan birokrasi perizinan selama ini masih jauh dari memuaskan. Pun dengan jangka waktu proses perizinan oleh Semen Gresik (atau Semen Indonesia) yang telah berjalan cukup lama. Secara hukum dimulai, melalui Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Semen Gresik pada tahun 2010. Artinya telah berlangsung lebih dari 5 tahun lamanya, yang akhirnya dicabut. Ironisnya, hal tersebut bukanlah yang pertama kali dialami oleh Semen Gresik. Semestinya, jika memang batuan kapur tidak boleh ditambang, sedari awal izin tidak diberikan.

 

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah garda terdepan dalam proses perizinan. Inilah biang keladi terjadinya persoalan tumpang tindih pemanfaatan lahan. Kekeliruan penafsiran Perda RTRW oleh aparat serta komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan (KPA), terkait lokasi pertambangan tidak dapat ditolerir. Jika aparatur pemerintah selaku regulator sukar menafsirkan dokumen RTRW, bagaimanakah dengan nasib pengusaha atau masyarakat umum.Penyusunan, penafsiran dan konsistensi pelaksanaan RTRW yang ideal, diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

 

Kesesuaian perizinan terhadap peruntukan ruang dalam RTRW adalah harga mati. Itulah sebabnya, pejabat berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan RTRW diancam pidana oleh UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Walau dalam praktik masih sebatas hitam diatas putih semata.

 

Proses perizinan merupakan salah satu indikator, dari sebelas (11) indikator Indeks Melakukan Bisnis 2017 (Doing Business Index) yang dirilis oleh Bank Dunia. Ketidakpastian hukum dan jaminan investasi tentu menghantui para investor dan iklim bisnis. Pembangunan ekonomi bisa terancam. Kucuran dana selangit untuk pabrik semen karena sudah ada pijakan hukum. Meski kemudian dicabut lantaran tumpang tindih, sangat tidak patut jika hanya investor yang menjadi korban.

 

Kedua, yaitu minimnya peran serta masyarakat dalam proses pembangunan. Pernyataan sikap penolakan warga rembang terhadap pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang oleh 2.501 (dua ribu lima ratus satu) warga adalah bukti belum optimalnya perlibatan masyarakat. Kita patut memberikan apresiasi terhadap masyarakat yang masih memperjuangkan haknya. Alangkah baiknya apabila kehadiran ultramen dan power ranger disikapi secara lebih arif. Sebagai proses pembelajaran dalam berdemokrasi.

 

Masyarakat adalah pihak yang menanggung dampak akibat suatu kegiatan. Suatu kewajaran apabila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan. Kerap terjadi, warga kehilangan aset berupa tanah dan akhirnya hanya menjadi penonton. Timbullah kemiskinan dan kesenjangan sosial.

 

Pemerintah jangan terkesan tidak proaktif. Sehingga memaksa masyarakat menjemput bola sampai ke Jakarta. Jangan ingat ketika mencari persetujuan izin saja. Peran serta seperti itu jauh dari kata “ideal”. Berikanlah ruang lebih. Sehingga masyarakat turut memperoleh maslahat pembangunan dengan optimal.

 

Ketiga adalah kenyataan bahwa, pertimbangan lingkungan masih menjadi “anak tiri” dalam pembangunan. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dokumen Amdal belum mendekripsikan dan menjamin bahwa kegiatan penambangan tidak mengancam rusaknya sistem akuifer (hidrologi air) dan terancamnya lingkungan hidup masyarakat.

 

Amdal adalah perangkat preemtif dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Kualitas dokumen Amdal merupakan barometer fundamental terintegrasinya aspek lingkungan hidup dalam proses pembangunan. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, rerata kisaran biaya penyusunan Amdal yakni tiga ratus (300) juta sampai dengan lima (5) miliar rupiah.

Nominal tersebut, sepantasnya menghasilkan kualitas Amdal yang sepadan.

 

Penting diketahui, Amdal adalah instrumen yang diterapkan bisa lebih dari ketaatan (over compliance). Komitmen para pihak dalam Amdal ibarat “kontrak”, baik pengusaha, masyarakat dan pemerintah. Substansinya dapat menampung berbagai dampak penting bagi lingkungan dan masyarakat. Seperti, keberlangsungan usaha, dampak lingkungan hidup atau sumber daya air, mata pencaharian, timbulnya konflik dan kesenjangan sosial, lapangan kerja dan peluang berusaha atau dampak negatif dan positif lainnya. Pelanggaran atau tidak optimalnya pelaksanaan Amdal, bisa dianggap sebagai pelanggaran kontrak yang berujung dicabutnya perizinan lingkungan.

 

Kinerja Komisi Penilai Amdal (KPA) juga setali tiga uang. Realitanya, Tim KPA yang terdiri dari perwakilan instansi pemerintah terkait, pakar atau akademisi universitas, organisasi lingkungan (LSM) dan masyarakat yang sudah tersertifikasi, terkesan berkolaborasi memuluskan rekomendasi kelayakan lingkungan. Sudah saatnya, akuntabilitas penyusunan dan penilaian Amdal layak menjadi perhatian seluruh pihak.

 

Ketiga aspek diatas sejatinya mencerminkan konsep pembangunan berkelanjutan. Secara sederhana, pembangunan berkelanjutan dapat dipahami sebagai upaya pembangunan yang mengintegrasikan tiga (3) aspek, yaitu ekonomi, lingkungan hidup dan aspek sosial masyarakat ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan secara seimbang. Ketiga aspek tersebut seharusnya saling terkait dan saling ketergantungan. Meski dalam praktik ketiganya masih sering berseteru.

 

Jika pemerintah ragu terkait permasalahan lingkungan, maka terapkanlah prinsip kehati-hatian.

Sebelum melaksanakan perubahan Amdal maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Audit Lingkungan dapat didayagunakan. Kajian yang terpercaya tentunya. Benar-benar dapat dipercaya oleh seluruh stakeholders. Supaya silang pendapat dapat diminimalisir.

 

KLHS berguna untuk menentukan layak atau tidaknya kegiatan pertambangan. Sedangkan, perbaikan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan dilaksanakan melalui Perintah Audit Lingkungan Hidup secara menyeluruh. Audit lingkungan bisa juga melahirkan suatu Kajian Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH), sebagaimana diatur dalam SE.7/ MenLHK/ SETJEN/ PLA.4/ 12/ 2016 terkait kewajiban memiliki dokumen lingkungan hidup bagi suatu kegiatan yang telah memiliki izin usaha.

 

Babak baru akan dimulai. Komunikasi seluruh stakeholders adalah keniscayaan agar tidak berakhir buntu. Impian menjadi produsen semen terbesar di Asia Tenggara wajib mengitegrasikan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sehingga cita pembangunan berkelanjutan sebagaimana termaktub dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 bisa terealisasi.

 

Leave a comment »