Pencemaran Pertambangan PT Freeport di Papua
Pertambangan Freeport tidak saja mencemari lingkungan tapi telah banyak menimbulkan derita dan kematian bagi warga di sekitar pertambangan. Di samping itu, sejumlah kekerasan antara aparat dan penduduk sekitar juga sering terjadi bahkan sampai menimbulkan korban jiwa baik dari kalangan penduduk, pekerja, bahkan aparat kepolisian dan tentara.
Dari sejumlah bencana tambang Freeport ada beberapa yang sampai pada ranah hukum yakni peristiwa tanggal 4 Mei 2000 di mana dam penahan limbah cair ambruk dan tidak mampu menahan beban yang lebih sehingga limbah cair beracun tersebut masuk ke Sungai Wanagon dan Kampung Banti serta membunuh empat penduduk, menghancurkan kandang ternak babi dan kebun warga, merusak kuburan orang suku Amungme dan mencemari 12 kilo meter Sungai Wanagon sampai ke laut.48
Akibat kasus ini, PT Freeport Indonesia digugat oleh WALHI melalui legal standing yang mengatasnamakan lingkungan. Gugatan WALHI didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai domisili kantor pusat Freeport di Jakarta. Dalam kasus WALHI vs Freeport, penggugat meminta Freeport untuk terbuka karena informasi yang dikeluarkan melalui Annual Report mereka dan keterangan yang mereka berikan di DPR dinilai bohong dan menyembunyikan data/kejadian yang sebenarnya. WALHI juga menuntut
Freeport meminta maaf di media nasional dan internasional termasuk televisi nasional dan internasional serta memperbaiki sistem pembuangan tailing mereka agar tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan serupa di masa mendatang. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian tuntutan dari WALHI dengan memerintahkan Freeport untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah mereka. Sayangnya Pengadilan tidak mengabulkan tuntutan permohonan maaf dari penggugat, padahal menurut informasi valid dilapangan, Freeport telah menyembunyikan sebagian besar informasi dan melanggar UU Lingkungan Hidup yang berlaku pada saat itu.
Perusahaan ini sampai sekarang masih memiliki rekam jejak lingkungan yang jelek karena ranking mereka selalu dianggap jelek oleh Tim Penilai “Proper” Pemerintah. Freeport belum pernah mendapatkan lambang “Hijau” dan pernah mendapatkan lambang “Hitam” dari Kementerian Lingkungan Hidup. Freeport bahkan pernah tidak dimasukkan dalam daftar Proper 2011 karena peringkatnya yang jelek. 50
Sumber : Hukum Lingkungan, Teori Legislasi dan Studi Kasus. Hlm.27-28
Kasus Walhi vs Freeport 106
Kasus ini bermula dari terjadinya longsoran overburden penambangan PT. Freeport Indonesia di Danau Wanagon, Irian Jaya pada Tanggal 14 Mei 2000, pukul 21.30 WIT. Longsoran tersebut menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden dan air) ke sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah Danau Wanagon. Kejadian tersebut menelan korban jiwa empat orang yang merupakan pekerja subkontraktor tergugat. Karena kejadian ini organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Selatan pada Tanggal 1 November 2000 mengajukan gugatan legal standing ke Pengadilan Negeri Jakarta.
Di dalam positanya penggugat mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa tindakan sengaja menutup-nutupi dan memberikan informasi yang tidak benar dan tidak akurat kepada
publik mengenai bencana yang terjadi. Selain itu penggugat juga mendalilkan bahwa kegiatan penambangan yang dilakukan tergugat telah menyebabkan kerusakan yang sangat hebat. Oleh karena itu tergugat harus bertanggung
jawab secara strict liability.
Dalam petitum primernya penggugat meminta agar majelis hakim antara lain: mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menyatakan tergugat
telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan di dalam petitum subsidernya penggugat hanya meminta agar majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequa et bono).
Di dalam putusannya majelis hakim mengabulkan gugatan tergugat untuk sebagian, yaitu: menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa tindakan memberikan informasi yang tidak benar dan tidak akurat. Majelis hakim juga mengabulkan tuntutan subsider, yaitu memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan tindakan tertentu berupa upaya maksimal untuk meminimalisir terjadinya overburden ke Danau Wanagon.
Sumber : Hukum Lingkungan, Teori Legislasi dan Studi Kasus. Hlm.588-589
Kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) yang berlaku hingga 2021 harus segera dinegosiasi ulang. Potensi kerugian negara akibat kekurangan penerimaan royalti selama 9 tahun terakhir mencapai Rp 1,591 triliun.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menjelaskan, nilai potensi kerugia negara itu didasarkan pada perhitungan hasil perhitungan nilai royalti yang dilakukan ICW selama kurun waktu 2002-2010 dibandingkan dengan pelaporan pembayaran royalti PT FI. Dari laporan keuangan Freeport, perusahaan tersebut telah membayarkan royalti kepada negara senilai 873,2 juta dolar AS. Sementara, berdasar perhitungan ICW, seharusnya total kewajiban royalti PT FI adalah 1.050 juta dolar AS.
“Diduga terjadi kekurangan bayar royalti yang berakibat terjadinya kekurangan penerimaan negara senilai 176,886 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,591 triliun,” ujar Firdaus dalam konferensi pers di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Sela¬tan, Selasa (1/11/2011).
Saat ini, pemerintah tengah melakukan renegosiasi kontrak terhadap 118 perusa¬haan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Sebagai perusahaan berskala besar, PT Freeport Indonesia harus mendapatkan prioritas. “Renegosiasi kontrak karya harus segera dilakukan untuk mempromosikan kepentingan nasional, salah satu diantaranya merealisasikan kewajiban divestasi sebesar 51% untuk pemerintah Indonesia,” lanjut Firdaus.
Selain itu, fokus utama terhadap PT FI mencakup evaluasi produksi tambang. Saat ini, pemerintah menetapkan batas maksimum skala operasi hingga 300.000 ton bijih/hari di Blok A Freeport di kabupaten Mimika, Paniai, Fak Fak dan Jayawijaya, Papua. Melihat dampak buruk terhadap lingkungan tanpa didukung penerimaan memadai, batas ini seharusnya dievaluasi hingga maksimum 200.000 ton bijih perhari.
Pemerintah juga diminta mengevaluasi royalti tambang selain emas, perak, dan tembaga yang selama ini telah dibayarkan. Dalam laporan keuangan PT FI pada 2001-2006, total penerimaan dari belerang dan mineral lainnya mencapai 3885,701 juta dolar AS. Jika belerang dan mineral ikutan dikenakan kewajiban royalti, nilainya mencapai 135 juta dolar AS atau setara dengan Rp 121,5 miliar. “Dalam audit BPK terhadap PT FI pada 2004, BPK meminta Freeport membayar royalti belerang,” tukas Firdaus.
Renegosiasi kontrak wajib direalisasikan segera karena dinilai tidak lagi sesuai dengan aturan perundangan yang ada. Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menyatakan, kontrak karya PT FI telah melecehkan perkembangan reformasi hukum di Indonesia karena berlawanan dengan aturan-aturan baru yang memproteksi sumberdaya nega¬ra seperti UU nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang mengamanat¬kan penerimaan negara dari sektor tambang. “Perjanjian yang seharusnya batal demi hukum,” tegas Nurkholis.
Pemerintah, menurut Nurkholis, dapat mengajukan gugatan kepada PT FI untuk segera membayarkan kekurangan royalti jika perusahaan yang beroperasi sejak 1973 itu menolak renegosiasi kontrak. Hal tersebut pernah dilakukan saat pemerintah menggugat PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) yang dinilai mencemari Teluk Buyat di Minahasa. Gugatan itu berakhir damai, ketika PT NMR mau membayar ganti rugi senilai 40 juta dolar AS. Dila
Sumber : Buletin ICW Edisi 4/Desember/2011
WAWANCARA
Firdaus Ilyas
SBY Harus Tegas
Rencana renegosiasi kontrak karya sejumlah perusahaan tambang hingga saat ini belum terealisasi seratus persen. Pemerintah terkesan ragu-ragu menggunakan kewenangannya untuk meninjau ulang kontrak demi mendapat hasil terbaik dari pengelolaan industri ekstraktif.
Rencana renegosiasi kontrak karya sejumlah perusahaan tambang hingga saat ini belum terealisasi seratus persen. Pemerin¬tah terkesan ragu-ragu menggunakan kewenangannya untuk meninjau ulang kontrak demi mendapat hasil terbaik dari pengelolaan industri ekstraktif.
Salah satu perusahaan tambang terbesar yang beroperasi di kawasan timur Indonesia, PT Freeport Indone¬sia (PT FI), bersikeras menolak ren¬cana renegosiasi karena berpedoman pada kontrak yang telah ditanda¬tangani pada 1991. Menghadapi PT FI, pemerintah seakan hilang akal. “Yang diperlukan adalah ketegasan dan keseriusan pemerintah. Karena dasar renegosiasi sangat kuat,” ujar koordinator divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, Rabu (7/12/2011).
Berikut petikan wawancara http://www.antikorupsi.org dengan Firdaus Ilyas:
PT Freeport Indonesia termasuk perusahaan yang “bandel”, belum mau renegosiasi kontrak. Perlukah SBY turun tangan? Sebab Freeport telah sejak awal berinvestasi telah melakukan perjanjian dengan sistem goverment to business, bahkan langsung dengan Soeharto dan kaki tangannya..
Bicara renegosiasi kontrak sebe¬narnya merupakan isu lama. Untuk PT FI bahkan sudah dibicarakan soal rencana renegosiasi kontrak sejak 2005. Lalu, pada 2006, dibentuk tim renegosiasi di bawah koordinasi Men¬teri Koordinator Ekonomi. Juni 2011 Presiden SBY melontarkan kembali kembali soal renegosaisi ini.
Alasannya renegosiasi sangat kuat, yakni UU Minerba tahun 2009. Alasan kedua, melihat kecilnya pen¬erimaan negara dari royalti.
…, …
Di dalam kontrak karya PT FI ada klausul kewajiban divestasi. Namun kemudian ditambah satu lagi pasal, yang intinya kalau pemerintah mengeluarkan peraturan lebih men¬guntungkan perusahaan, kewajiban sebelumnya bisa gugur. Ketika awal¬nya ada kewajiban divestasi, namun kemudian ada aturan baru yang lebih menguntungkan perusahaan, bisa gugur.
Kontrak PT FI ditandatangani tahun 1991. Pada 1994 terbit UU Penanaman Modal Asing yang membolehkan struktur kepemilikan modal perusahaan bisa dimiliki 100 persen pihak oleh asing. Akhirnya inilah yang dirujuk. Banyak pihak curiga lahirnya peraturan ini atas lobi dari PT FI.
Sumber : Buletin ICW Edisi 4/Desember/2011
Freeport, Potret Buram Pengelolaan Lumbung Emas Grasberg
…, …
Merujuk pada laporan tahunan Freeport-McMorran Copper & Gold Inc. (FCX), bukit Grasberg, atau yang saat ini lebih tepat disebut lubang Grasberg, merupakan lokasi tambang dengan cadangan emas dan tembaga paling besar di dunia. Disebutkan dalam Annual Report (AR) FCX tahun 2010 tambang Grasberg mempunyai cadangan 32,7 miliar pounds tembaga dan 33,7 juta ounce emas. Cadangan emas Grasberg merupakan yang terbesar dibanding lokasi tambang FCX lainnya.
Nilai tambang yang begitu fantastis, sayangnya, tidak secara langsung mengalirkan manfaat bagi perekonomi¬an Indonesia. Pada 2010, PT FI mengklaim telah memberikan manfaat langsung sekitar Rp 17,4 triliun kepada pemerintah. Jumlah ini terlampau kecil bila dibanding¬kan total revenue FCX tahun 2010 sebesar 18.982 mil¬lion US$ (sekitar Rp 170,84 triliun dengan kurs 9.000). Nilai Rp 17,4 triliyun yang dibayarkan kepada Indonesia hanya setara dengan 0,10 dari total revenue yang dinikmati FCX.
Tambang Grasberg merupakan penyumbang terbesar total revenue yang diterima FCX sebagai induk PT FI. Bahkan, dalam laporan tahunan perusahaan disebut¬kan dengan tegas bahwa “tanpa tambang Grasberg, FCX tidak akan ada. Tambang Grasberg menjadikan FCX sebagai perusahaan tambang terbesar di dunia”.
Dalam KK PT FI, salah satu kewajiban pembayaran ke¬pada pemerintah Indonesia adalah iuran tetap dan iuran produksi (royalti). Iuran tetap dihitung berdasarkan luas wilayah KK dikalikan tarif (US$ 3) per Ha/tahun. Tarif royalti tembaga 1,5%-3,5% dari harga jual, emas dan perak 1% dari harga jual. PT FI juga dikenakan royalti tambahan untuk tingkat produksi bijih di atas 200.000 ton (maksimal 300.000 ton) per hari dengan tambahan royalti untuk tembaga sebesar 100%, emas dan perak 200%.
Perhitungan royalti itu jauh lebih rendah bila dibandingkan patokan tarif yang disebutkan dalam PP No 13 Ta¬hun 2000 dan PP No 45 Tahun 2003. Tarif royalti untuk tembaga adalah 4%, emas 3,75% dan perak 3,25%.
Sumber : Buletin ICW Edisi 4/Desember/2011
Renegoisasi Kontrak untuk Kedaulatan Tambang
Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah hanya akan jadi kutukan jika tidak ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. Pengelolaan tambang harus diatur sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat, bukan menguntungkan segelintir pihak pemegang kontrak kuasa pertambangan.
UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 secara tegas menyebutkan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang ini menjadi landasan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan pertambangan di Indonesia.
Falsafah kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan tambang diamini oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jelas dinyatakan Undang-undang, mineral yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaan tambang harus dikuasai oleh negara,…,…
Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah hanya akan jadi kutukan jika tidak ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. Pengelolaan tambang harus diatur sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat, bukan menguntungkan segelintir pihak pemegang kontrak kuasa pertambangan. Sumber (Buletin ICW Edisi 3/Oktober/2011)
Sebelumnya, patut diingat sebagai catatan, Proses pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) oleh sebesar 7 persen oleh pemerintah tidak berjalan mulus. Akibat adanya pemburu rente!.
Baca dampak lingkungan PT Freeport unduh Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua
Baca Suara Tambang ICW SUARA+TAMBANG4
dan SUARA+TAMBANG3
Baca materi terkait Korupsi di bidang Migas dan Tambang Transparansi+Migas_ICW_29Sept10
Ketika Mereka Menyoal Freeport, dari Kerusakan Lingkungan sampai Pengabaian Hak Orang Papua
March 23, 2017 Della Syahni, dan Indra Nugraha, Jakarta Energi (http://www.mongabay.co.id/2017/03/23/ketika-mereka-menyoal-freeport-dari-kerusakan-lingkungan-sampai-pengabaian-hak-orang-papua/)
Seorang lelaki berjas, celana jeans dan kacamata hitam berdiri di hadapan lima orang warga (petani). Di tubuh lelaki itu tergantung tulisan ‘Boss Freeport’, di bagian depan dan ‘Jim Bob’ di bagian punggung .
Tampak juga warga bercaping, muka coreng berpakaian cabik, kaki dirantai, dan tangan terikat. ‘Boss Freeport’ mencambuk, menendang dan menyiksa warga. Mereka mengerang kesakitan. Memohon ampun.
‘Jim Bob’ tak peduli.
Kelima petani berontak. Mengangkat cangkul dan parang, berbalik menghajar ‘Boss Freeport’ hingga lumpuh.
Itulah aksi teatrikal oleh Sanggar 33 di Gedung Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (13/3/17). Ia gambaran pendudukan perusahaan tambang, PT. Freeport Indonesia (Freeport), di Papua sejak 1967.
Jim Bob, nama panggilan James Moffet, salah satu mantan Dewan direksi Freeport yang mundur dan jadi konsultan dewan direksi dan penasihat khusus operasional perusahaan di Indonesia. Bob, orang yang berperan penting mengembangkan tambang emas dan tembaga Grasberg milik Freeport di Papua.
“Selama 50 tahun, banyak kerusakan ekologi karena tambang Freeport, pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah adat Suku Amungme dan Kamoro tak pernah dibayar Freeport. Masyarakat Papua hidup di tengah limbah kimia,” kata Rudi Hartono, Wakil Sektretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik, Rudi Hartono dalam orasi.
Dengan kerusakan sosial dan ekologi di Papua, katanya, negara harus hadir dan bertanggungjawab.
Freeport, sepertinya mau tetap mau model bisnis, dimana investor sebagai tuan dan Indonesia jadi pelayan.
Belum lagi, soal penolakan Freeport atas divestasi saham 51% dan perubahan status dari kontrak karya jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Freeport menolak divestasi dengan alasan, KK yang ditandatangani bersama pemerintah pada 1991 hanya mengatur divestasi 30%. Penolakan IUPK karena kewajiban membangun smelter dan aturan pajak dan royalti bersifat prevailing atau sewaktu-waktu dapat berubah.
“Kami sampaikan kepada Kementerian ESDM, jika Freeport tak mau hargai kedaulatan Indonesia, tak perlu ada perundiangan lagi. Kita sudah tak ingin model bisnis terus merusak sumber daya alam.”
Hendri Kurniawan, Juru Bicara Gerakan Nasional Pasal 33 UUN 1945, mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia mencoba bersikap tegas terhadap Freeport.
“Bahkan pemerintah melalui KESDM sanggup berhadapan di pengadilan arbitrase internasional jika Freeport tak tunduk dan patuh peraturan Indonesia,” katanya.
Wacana membawa kisruh ini ke pengadilan arbitrase internasional muncul kala Presiden dan CEO Freeport Richard C. Adkerson menyatakan, beri waktu 120 hari kepada pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan.
Hardikan ini, katanya, jadi alasan lebih kuat, pemerintah tak memperpanjang KK yang berakhir 2021. “Dengan momentum berakhir KK Indonesia punya kesempatan memperoleh kepemilikan penuh kekayaan tambang. Sudah saatnya pemerintah Indonesia menata ulang pengelolaan tambang berbasis kemandirian dan kesejahteraan,” katanya.
Penataan ulang ini, usul Hendri harus melibatkan pemerintah daerah, BUMN maupun BUMD dan rakyat Papua secara langsung dengan konsep koperasi rakyat maupun tambang rakyat.
Selang seminggu, puluhan massa terdiri dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Senin (20/3/17) aksi di depan Kantor Freeport di Jakarta.
Sebagian mahasiswa, laki-laki dan perempuan mencat tubuh mereka, sebagian tubuh ke bawah putih dan biru langit, bagian atas termasuk wajah dan tangah merah dengan gambar bintang putih di tengah.
“Papua bukan merah putih! Papua Bintang Kejora (bendera Papua Merdeka_red),” yel-yel mereka.
Aksi ini menyusul kisruh pemerintah Indonesia dengan Freeport yang dinilai tak melibatkan masyarakat Papua sebagai pihak terdampak langsung.
“Freeport tak hanya merampok kekayaan alam, memberangus demokrasi, melanggar HAM hingga membuat rakyat Papua miskin, juga merusak lingkungan,” kata Frans Nawipa, mewakili AMP.
Data mereka, setiap hari operasi penambangan Freeport, membuang 230.000 ton limbah batu ke Sungai Aghawagon dan sungai sekitar. Ada 360.000-510.000 ton per hari limbah asam mencemari dua lembah sekitar 6,5 kilometer hingga kedalaman 300 meter.
“Kali ini dalam kisruh pemerintah Indonesia dan Freeport soal IUPK, lagi dan lagi rakyat dan bangsa Papua tak dilibatkan.”
Mereka tak setuju nasionalisasi Freeport. Tuntutan mereka, antara lain, Indonesia menutup Freeport, mengaudit kekayaan perusahaan, memberikan pesangon untuk buruh perusahaan, audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan. Lalu menarik TNI/Polri dari tanah Papua, usut pelanggaran HAM, berikan hak menentukan masa depan pertambangan Papua dan mengharuskan Freeport merehabilitasi lingkungan dampak tambang.
Aksi teatrikal aktivis di Jakarta, menyuarakan protes pada Freeport. Foto: Della Syahni
Saham Freeport
Terkait rencana divestasi saham Freeport yang digadang pemerintah sebesar 51%, Pemkab Mimika minta 20%. Bupati Mikika Eltinus Omaleng dalam peluncuran buku berjudul “Papua Minta Saham” awal Maret mengatakan, 20% itu harga mati.
“Kami pertahankan. Kalau kami tak dikasih, perusahaan tambang manapun tak boleh masuk. Selama dua hari kami sudah bertemu Pak Jonan (Menteri ESDM-red) dan Pak Luhut (Menteri Maritim-red), respon mereka luar biasa,” katanya.
Dia bilang, sambutan Jonan positif. Kalau divestasi 51% jadi, rakyat Papua akan dapat saham. “Pak Luhut juga mengatakan seperti itu. Kami senang.”
Eltinus menulis sendiri buku itu. Ia berisi sekelumit permasalahan masyarakat Papua setelah perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu berdiri di bumi Cendrawasih.
Betapa penderitaan masyarakat mulai dari tergusur dari tanah ulayat, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan lain-lain. Jadi, katanya, kalau rakyat Papua minta saham 20% bukan hal besar dibandingkan penderitaan.
Dia mengatakan, sebenarnya 20% masih sangat kecil. Jumlah itu terbagi-bagi, 10% untuk pemda, 10% lain untuk masyarakat adat Amungme dan Komoro, yang selama ini jadi korban.
“Kita miskin di atas miskin. Miskin di atas emas, di atas tembaga.”
Dia bilang, Freeport ini macam pemerintah dalam pemerintah. Selama ini, mereka meminta Freeport berbuat untuk warga tetapi tak mau dengar.
“Minta buka jalan sedikit saja tak bisa. Tak mau. Untuk pendidikan, kami punya warga jadi pekerja di Tembagapura dan memiliki anak-anak, untuk sekolahkan saja mereka tak mau terima. Apalagi masyarakat lain? Tak boleh masuk.”
Dia juga , Freeport membangun smelter di Mimika. Sebelumnya, dia sudah siapkan lahan 300 hektar dan bahas dengan Komisi II DPR.
“Kami mengejar soal smelter karena mungkin melalui itu bisa mengurangi pengangguran.”
Dengan masyarakat Papua punya saham, bisa menentukan nasib dan ikut bersuara dalam menentukan masa depan tambang sekaligus berkontribusi bagi kesejahteraan warga Papua.
Janes Natkime, perwakilan masyarakat adat Suku Amungme mengatakan, selama ini warga jadi korban atas kepentingan Amerika Serikat dan Indonesia.
“Dua negara ini rampas hak asasi, hak adat kami. Sekarang kami datang kepada pemerintah mengadukan nasib kami.”
Dia bilang, hampir 50 tahun tak ada keadilan bagi masyarakat Amungme. “Selama ini gunung-gunung kami habis, lahan hidup habis atas kepentingan dua negara. Masyarakat juga mulai punah akibat pertambangan Freeport di Papua.”
Suku Amungme dan Kamoro, katanya, susah hidup. Lahan berburu mereka sudah jadi pertambangan Freeport.
“Kemudian zat kimia, masyarakat banyak jadi korban. Banyak luka-luka di kaki dan badan. Kalau orang injak sungai, akan luka.”
“Masyarakat susah hidup. Hewan seperti ikan, katak, ular tak ada lagi. Pohon-pohon di pinggir sungai mati. Masyarakat sekarang ini bertahan di pinggiran saja, meski masih di area penambangan. Namun untuk berburu sulit.”