Kasus Pengendalian Pencemaran Udara

Pengendalian pencemaran udara telah diatur secara spesifik dalam berbagai peraturan perundang-undangan. ANatar lain yaitu :
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan
Permen LH No. 4 Tahun 2011 tentang Sertifikasi Kompetensi Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran Udara – PPPU
Permen LH No. 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah
Permen LH No. 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal (cerobong GENSET)
Permen LH No. 7 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Ketel Uap (cerobong BOILER)
Permen LH No. 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama (Emisi Kendaraan)
Kep Men LH No. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)
Kep Men LH No. 50 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan
Kep Men LH No. 49 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Getaran
Kep Men LH No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan
Kep Men LH No. 15 Tahun 1996 tentang Program Langit Biru.
Kep Bapedal No. 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak
Sayangnya, selama ini, ketentuan tersebut “seolah” hanya mengikat untuk badan usaha dan/ atau perseorangan semata. Contohnya saja, dalam rangka pengendalian pencemaran yang bersumber dari emisi bergerak, seperti kendaraan bermotor mobil. Sebagian besar aparatur tentu saja tidak pernah memperdulikan polusi yang bersumber dari knalpot kendaraanya.Namun,jika berbicara kewajiban badan usaha atau perseorangan, maka pemerintah dengan tegas memaksakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Padahal aparat atau instansi pemerintah sendiri, mungkin sebagian besar tidak pernah melaksanakan uji emisi gas buang kendaraan dinasnya.
Selain aparat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan, maka kegiatan seperti penggunaan bahan bakar gas, uji emisi kendaraan bermotor, pengendalian emisi cerobong asap, car free day, pemasyarakatan penggunaan transportasi publik, penambahan ruang terbuka hijau, manajemen lalu lintas, penerapan sistem ganjil-genap, dan pemasyarakatan eco-driving, itu LSM – LSM secara personal gak mengerti atau gakmenyadari, bahwa mereka juga gak pernah bisa menjadi teladan. Sibuk bersuara… tanpa mencoba mencari solusi untuk bangsa.
Saya yakin, apabila anggota LSM itu diwawancara, maka sebagian besar dari mereka tidak pernah melaksanakan UJI EMISI….hehehe….YAKIN deh…tapi kalau bersuara agar pabrik ditutup, karena cerobongnya mencemari udara…sering banget!
…………………………………………
 hasilnya :::
KUALITAS UDARA DI JAKARTA SANGAT BURUK
Rabu, 05 April 2017
Kualitas udara di Jakarta masih di bawah ambang batas yang disyaratkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jika dilihat dari indikator particulate matter (PM) 2,5. PM 2,5 adalah salah satu polutan paling berbahaya berbentuk partikel halus yang berasal dari emisi transportasi, industri, dan pembangkit tenaga listrik. Greenpeace Indonesia meneliti 19 lokasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi selama Februari-Maret 2017. Hasilnya, wilayah perumahan di Cibubur, Jakarta Timur, tingkat PM 2,5 rata-rata selama dua bulan berada di angka 103,2 µg/m3. Tingkat PM 2,5 itu berada jauh di atas batasan standar minimum yang ditetapkan WHO, yaitu 25 µg/m3, dan standar Baku Mutu Ambien Nasional 65 µg/m3. “Masyarakat selama ini tidak sadar betapa buruknya kualitas udara karena data yang tersedia sangat terbatas di beberapa titik,” kata juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, Selasa (4/4). Bondan mengatakan, jika terpapar PM 2,5 secara terus-menerus, orang bisa terkena berbagai macam penyakit, terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), paru-paru kronis, pecahnya pembuluh darah, kanker paru-paru, dan stroke. Ahli jantung dan penyakit dalam Rumah Sakit Siloam, Djoko Maryono, mengatakan, paparan polusi udara terus-menerus mengakibatkan retaknya pembuluh darah jantung, munculnya plak di pembuluh darah akibat radikal bebas. Infeksi akibat radikal bebas itu bisa membentuk bisul-bisul di pembuluh darah yang bisa pecah kapan pun. Pecahnya pembuluh darah mengakibatkan migrain, stroke, dan kematian mendadak. “Polusi yang parah di kota-kota besar membuat orang yang terkena risiko penyakit semakin muda usianya. Sekarang banyak orang di bawah 50 tahun terkena stroke,” kata Djoko. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI memiliki target menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 30 persen. Salah satu caranya dengan mitigasi di bidang transportasi. Kegiatan mitigasi peningkatan kualitas udara itu dilakukan di antaranya dengan penggunaan bahan bakar gas, uji emisi kendaraan bermotor, pengendalian emisi cerobong asap, car free day, pemasyarakatan penggunaan transportasi publik, penambahan ruang terbuka hijau, manajemen lalu lintas, penerapan sistem ganjil-genap, dan pemasyarakatan eco-driving. Upaya ini terus dilakukan meski dampaknya belum terlalu signifikan. (DEA)…………..SUMBER, KOMPAS, RABU 5 APRIL 2017, HALAMAN 28
Secara sederhana, polutan terbesar tentu bersumber dari kendaraan bermotor. Lha, seharusnya pemerintah memberi teladan dahulu. Laksanakan uji emisi.
LSM juga jangan sekedar bersuara. Penelitian terhadap dampak lingkungan mutlak adanya untuk menunjang advokasi. Penanaman pohon atau penghijauan memang baik, namun tentu tidak bisa menjadi solusi.
Pengendalian pencemaran tentu akan lebih baik jika menggunakan pendekatan end of pipe. Jadi alangkah baiknya, anggota LSM juga ikut memberikan TELADAN, dengan berhenti menggalakan penghijauan semata, berhenti menggunakan kendaraan pribadi, lalu ikut uji emisi, menggalakkan uji emisi, sehingga sumber polutan bisa ditekan seminimalisir mungkin.
Kalau kendaraan berpolutan makin banyak, lalu pohon makin banyak, yah sami mawonnnnnnn……

Tinggalkan komentar