Hutan Kemasyarakatan – Pengantar
Sistem pengelolaan hutan yang bertumpu pada peran negara (pemerintah) bercorak sentralistik, terbukti tidak mampu mensejahterakan rakyat secara merata. Kewenangan “diskresi” pemerintah mengelola hasil pemanfaatan hutan, terbukti tidaklah mampu menyediakan berbagai penunjang terwujudnya kesejahteraan masyarakat, antara lain melalui penciptaan lapangan kerja, jaminan perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Parahnya lagi, alih-alih mensejahterakan masyarakat, sistem sentralistis malah merugikan masyarakat sekitar hutan. Selain itu, tergusurnya masyarakat juga tak jarang memicu timbulnya konflik antara masyarakat melawan perusahaan dan masyarakat melawan pemerintah.
Akibatnya, konflik perebutan pengelolaan hutan sering sekali menimbulkan korban jiwa di pihak masyarakat serta berbagai bentuk penindasan hak asasi manusia lainnya.
Ironisnya, korban timbul biasanya akibat perbuatan aparat kepolisian ataupun tentara (TNI), karena aparat cenderung berpihak kepada kepentingan pemilik modal daripada kepentingan rakyat miskin.
Yahhh, semua ini wajar terjadi di negeri berpredikat Terkorup di dunia. Dimana pemerintah dan aparat penegak hukum, bersama perusahaan nasional dan multinasional secara KOMPAK untuk menghabiskan kekayaan sumber daya alam Indonesia, dengan mengekesampingkan hak kesejahteraan masyarakat miskin.
Timbulnya sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diatur dalam UU 41/99 tentang Kehutanan (UUK) adalah sebuah harapan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Sistem pengelolaan tersebut antara lain melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa.
Namun apa daya, konsep pengelolaan hutan yang “benar-benar” menyejahterakan rakyat (forest for people) realita di lapangan terbukti tidak berjalan dengan optimal.
Landasan hukum Hutan Kemasyarakatan
1. Pasal 93 ayat 9 (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal 95 ayat (2), pasal 96 ayat (8), dan Pasal 98 ayat (3) PP No.6 Tahun 2007 jo PP No.3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
2. Peraturan Menteri Kehutaan No.P.37/Menhut-II/007 tentang Hutan Kemasyarakat, hutan masyarakat adalah hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujuhkan untuk memberdayakan masyarakat setempat . kemudian dirubah dengan Permenhut RI NOMOR : P. 18/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Atas Permenhut Nomor P.37/Menhut-Ii/2007 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan dan dirubah kembali dengan Permenhut RI NOMOR : P. 13/Menhut-II/2010 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-Ii/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan
Pengertian Hutan Kemasyarakatan
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutaan No.P.37/Menhut-II/007 tentang Hutan Kemasyarakat, hutan masyarakat adalah hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujuhkan untuk memberdayakan masyarakat setempat .
Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Kenyataan di lapangan, tafsir siapakah masyarakat setempat, sangat ditentukan kepada pihak-pihak yang berwenang, khususnya oleh pemerintah daerah. Akibat negatifnya, masyarakat sekitar yang seharusnya lebih berhak memperoleh lahan HKM malah dikesampingkan. Timbulnya makelar tanah, merupakan indikasi terjadinya Praktik KKN dalam program HKM yang diterapkan.
Sehingga umumnya, pemegang hak HKM adalah orang yang “membayar” kepada penguasa atau kerabat/ teman dekat penguasa daerah.
Sedangkan pengertian kelompok masyarakat setempat adalah kumpulan dari sejumlah individu dari masyarakat setempat yang memenuhi ketentuan kriteria sebagai kelompok masyarakat setempat dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota untuk diberdayakan.
Hal ini terjadang menjadi jalan bagi penguasa untuk memperoleh hak-hak pengelolaan HKM melalui organisasi/ Pokmas fiktif. Setelah organisasi fiktif tersebut berhasil memperoleh hak HKM, pengurusnya secara sembunyi-sembunyi, “menjual” hak tersebut kepada masyarakat sekitar. Lemahnya pengawasan secara disengaja dan tidak sengaja, merupakan akar permasalahan menyimpangnya pelaksanaan HKM di lapangan.
Pemberdayaan Masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pemberdayaan selama ini diartikan oleh penguasa “semau” para penguasa. Pemberdayaan terkadang dapat pula disamakan dengan mempekerjakan masyarakat sebagai buruh kecil, dengan penghasilan yang tidak berperikemanusiaan. Selain itu, pemberdayaan tidak pernah diartikan dengan suatu pemilikan hak, untuk mengelola secara mandiri, dengan diiringi pembinaan oleh pemerintah.
Maksud, Tujuan, Azas dan Prinsip Hutan Kemasyarakatan
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.
Hutan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan berazaskan: a. manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya; b. musyawarah-mufakat; c. keadilan.
Untuk melaksanakan 3 azas sebagaimana tersebut di atas digunakan prinsip:
a. tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan;
b. pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman;
c. mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya;
d. menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa;
e. meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan;
f. memerankan masyarakat sebagai pelaku utama;
g. adanya kepastian hukum;
h. transparansi dan akuntabilitas publik;
i. partisipatif dalam pengambilan keputusan.
Prinsip yang paling sering disimpangi adalah prinsip transparansi dan partisipatif. Penyimpangan tersebut, umumnya mengakibatkan pengelola hutan mendapat lahan dengan membayar. Dampak komulatifnya, pengelola HKM, tidak peduli dengan prisip kelestarian hutan, dengan mengubah status dan fungsi hutan.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) dengan semua aturannya mungkin dapat menjaga keberadaan hutan dan fungsinya dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, lemahnya pengawasan dalam pelaksanaannya dan sebagai bagian dari negara terkorup di dunia, mengakibatkan semua itu hanya terwujud di atas kertas semata.
Pengawasan yang kontinyu dan konsisten oleh instansi terkait menjadi kunci keberhasilan program hutan kemasyarakatan. Sejatinya, aparat yang berwenang, layak untuk dipecat dengan tidak hormat, apabila ditemukan terbukti tidak mampu menjalankan HKM sesuai tujuan serta terjadi kegagalan dalam mencapai tujuan program HKM.
Tanpa bermaksud menyepelekan pelaksanaan program HKM, maka oknum pemerintah yang sudah digaji, dan dibayar oleh rakyat, sudah saatnya memiliki budaya malu. Malu kalau tidak mampu mensejahterakan rakyat. Malu kalau tidak mampu merealisasikan HKM dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekita. Malu kalau program yang dijalankan tidak mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Jangan bisanya Cuma makan gaji buta. Apalagi sampai korupsi, dan memanfaatkan kekuasaanya untuk memiskinkan masyarakatnya. Satu kata, dibakar hidup-hidup buat oknum pemerintah seperti itu.
Bunuh…bunuh…aparat yang tidak mampu….bakar…bakarr…aparat yang memanfaatkan kekuasaan.
Hidup revolusi….wkwkwkwk