Peristiwa pembakaran puluhan perumahan masyarakat yang terjadi Kualakambas dan kualasekapuk pertengahan Juli 2010 yang lalu, tentunya menimbulkan keperihatinan akan upaya penegakan hukum yang menjauh dari fungsi hukum dari kemanfaatan masyarakat berupa sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana tidak, mengatasnamakan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDAH) tindakan aparat Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) bersama Kepolisian Daerah Lampung telah mengakibatkan hilangnya sumber-sumber kehidupan 700-an masyarakat Kualakambas dan Kualasekapuk, baik tempat tinggal, mata pencaharian, serta kehidupan sosial budaya.
Penegakan Hukum Lingkungan
Kawasan konservasi TNBBS, benda cagar budaya, dan berbagai unsur sumber daya alam seperti air, tanah dan udara adalah merupakan beberapa obyek perlindungan hukum lingkungan.
Hukum Lingkungan secara sederhana dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur manusia dan perilakunya yang mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dampak negatif tersebut, seperti tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan air, udara, dan tanah, serta berbagai hal terkait di bidang konservasi, penataan ruang, perlindungan cagar budaya serta aspek-aspek lain yang dapat mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan hidup termasuk di dalamnya peristiwa pembakaran di TNBBS.
Karena itu, penegakan hukum lingkungan berbeda dengan penegakan hukum di bidang ekonomi, pidana, perdata, dan bidang-bidang hukum lainnya.
Menurut Koesnadi bahwa yang utama dalam penegakan hukum lingkungan adalah melalui upaya penaatan (compliance), yakni melalui terwujudnya kesadaran masyarakat untuk mentaati berbagai ketentuan-ketentuan hukum lingkungan. Karena itu, pelaksanaan penegakan hukum yang bersifat preventif adalah suatu keutamaan dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan.
Esensi pentaatan hukum lingkungan tersebut bersumber dari fungsi keberadaan lingkungan hidup (khususnya sumber daya alam) sebagai obyek hukum lingkungan yang harus dilestarikan fungsinya dan sekaligus sebagai sumber daya yang diperuntukkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Dengan kata lain, hak rakyat indonesia berupa kesejahteraan hidup sebagai pemilik sumber daya alam sejajar dengan obyek hukum lingkungan seperti keberadaan kawasan konservasi.
Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkeadilan
Peranan sentral pemerintah sebagai pemegang kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan adalah jembatan untuk menghubungkan antara hak kesejahteraan masyarakat dan terjaminnya keberadaan kawasan konservasi.
Hal tersebut selaras pula dengan salah satu prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni mewujudkan keadilan inter dan antar generasi.
Prinsip tersebut di satu sisi menghendaki perlindungan kawasan konservasi sebagai jaminan bagi generasi akan datang untuk memenuhi kehidupannya. Namun di lain sisi, negara juga berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat generasi yang sekarang melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.
Pemerintah bertanggung jawab untuk membuat perencanaan dan pengelolaan yang mampu menjamin distribusi pemanfaatan sda secara berkeadilan agar jaminan kesejahteraan seluruh masyarakat baik generasi sekarang dan yang kan datang dapat terwujud.
Ketidakmampuan pemerintah untuk membuat perencanaan dan pengelolaan yang mampu menjamin distribusi pemanfaatan sda secara cermat merupakan akar masalah terjadinya berbagai konflik sda.
Keyataannya sampai saat ini, distribusi pemanfaatan sda khususnya hak pemanfaatan lahan, sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat dengan konsesi lahan puluhan ribu sampai ratusan ribu hektar. Kepala BPN Joyo Winoto bahwa 56 persen aset negeri ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.
Ketidakberdayaan, keengganan, dan/atau bahkan “keinginan” pemerintah akan sangat mempengaruhi terwujudnya keseimbangan kedua kepentingan tersebut.
Pemerintah haruslah mampu mengakomodir kesejahteraan masyarakat kualakambas dan kualasekapuk yang memiliki hak atas kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut dapat salah satunya dicapai melalui pemberian hak pengelolaan dalam pemanfaatan sda.
Apabila kenyataanya tidak terdapat pilihan lain untuk mempertahankan kehidupannya, maka warga Kualakambas dan Kualasekapuk dalam rangka mempertahankan keidupannya tidak memiliki pilihan selain merambah dan bertempat tinggal di kawasan TNBBS.
Karena itulah sangat diperlukan penyelesaian yang komprehensif dengan mempertimbangkan terpenuhinya hak-hak masyarakat yang sekarang dan juga yang akan datang. Penegakan hukum yang represif seperti pembakaran pemukiman warga di TNWK merupakan bentuk pelaksanaan tanggung jawab pemerintah yang bersifat instan, insidental, komensalis, parsial, dan sektoral.
Pada satu sisi memberikan perlindungan terhadap generasi akan datang, namun di lain sisi adalah bentuk pengingkaran terhadap jaminan kesejahteraan rakyat bagi generasi sekarang.
Peristiwa pembakaran itu membuktikan bahwa negara melalui aparatur pemerintahnya, telah mangkir dari tugas dan tanggung jawabnya dalam mensejahterakan masyarakat.
Karena itulah Koesnadi lebih lanjut menegaskan, bahwasanya penegakan hukum lingkungan di kawasan konservasi tidak selesai hanya dengan mempertahankan keberadaan kawasan konservasi dari para perambah hutan, namun penting untuk dipikirkan dan diberikan solusi mengenai alih tempat tinggal, pekerjaan, serta kehidupan sosial budaya yang baru bagi para perambah hutan. Tujuannya tidak lain untuk menjamin agar para perambah tidak kembali merambah hutan.
Penyelesaian “Win-Win Solution”
Aparat penegak hukum selayaknya menghindarkan diri dari klaim, bahwa penegakan hukum yang dilaksanakannya “paling benar” atau sudah sesuai prosedur PUU yang berlaku.
Apabila aparat penegak hukum berpegang bahwa metode penyelesaian yang dilakukannya bukanlah yang terbaik, maka kemungkinan adanya solusi lain yang lebih baik dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi akan terbuka lebar.
Apabila pemerintah mau bersikap terbuka, maka peran serta masyarakat, baik akademisi, tokoh agama, masyarakat, serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya akan dapat dilaksanakan. Dengan begitu upaya untuk menemukan sebuah solusi yang terbaik akan dapat diwujudkan. Lebih lanjut, karena solusi yang diwujudkan merupakan kesepakatan bersama, maka solusi yang dilaksanakan tentunya akan lebih efektif dan pemerintah akan diuntungkan karena tidak perlu melaksanakan pengawasan sehingga meminimalisir keluarnya sumber daya milik pemerintah.
Dalam kasus Kualakambas dan Kualasekapuk, berbagai pihak menyakini bahwa masyarakat tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan. Keberadaan perkebunan dan bukti perambahan hutan seperti illegal logging juga tidak ditemukan di sekitar pemukiman mereka.
Karena itu, masyarakat Kualakambas dan Kualasekapuk tidak layak di berikan cap sebagai masyarakat perambah hutan. Bahkan mereka memiliki potensi untuk dijadikan penjaga kawasan TNBBS dari kegiatan illegal logging dan kegiatan negatif lainnya.
Entah tindakan aparat dilandasi oleh kepentingan konservasi atau kepentingan lainnya, namun apabila bekerjasama dengan masyarakat tentunya baik pemerintah maupun masyarakat mendapatkan keuntungan.
Disatu sisi masyarakat tetap mempunyai tempat tinggal dan mata pencahariannya. Sementara dilain sisi, pemerintah mendapat bantuan dari masyarakat untuk mengawasi kelestarian kawasan konservasi seperti TNWK.
Bukankah selama ini pemerintah pusat dan daerah juga selalu mengeluhkan akan minimnya sumberdaya baik anggaran serta SDM dalam mengawasi kawasan konservasi di Indonesia termasuk TNWK.
Lantas pertanyaannya, mengapa saat itu pemerintah seolah mesti melaksanakan tindakan represif…