Posts tagged Pembangunan Berkelanjutan

Pentaatan Hukum Lingkungan dan Peruntukan Sumber Daya Alam

Peristiwa pembakaran puluhan perumahan masyarakat yang terjadi Kualakambas dan kualasekapuk pertengahan Juli 2010 yang lalu, tentunya menimbulkan keperihatinan akan upaya penegakan hukum yang menjauh dari fungsi hukum dari kemanfaatan masyarakat berupa sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana tidak, mengatasnamakan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDAH) tindakan aparat Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) bersama Kepolisian Daerah Lampung telah mengakibatkan hilangnya sumber-sumber kehidupan 700-an masyarakat Kualakambas dan Kualasekapuk, baik tempat tinggal, mata pencaharian, serta kehidupan sosial budaya.

Penegakan Hukum Lingkungan
Kawasan konservasi TNBBS, benda cagar budaya, dan berbagai unsur sumber daya alam seperti air, tanah dan udara adalah merupakan beberapa obyek perlindungan hukum lingkungan.

Hukum Lingkungan secara sederhana dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur manusia dan perilakunya yang mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dampak negatif tersebut, seperti tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan air, udara, dan tanah, serta berbagai hal terkait di bidang konservasi, penataan ruang, perlindungan cagar budaya serta aspek-aspek lain yang dapat mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan hidup termasuk di dalamnya peristiwa pembakaran di TNBBS.

Karena itu, penegakan hukum lingkungan berbeda dengan penegakan hukum di bidang ekonomi, pidana, perdata, dan bidang-bidang hukum lainnya.

Menurut Koesnadi bahwa yang utama dalam penegakan hukum lingkungan adalah melalui upaya penaatan (compliance), yakni melalui terwujudnya kesadaran masyarakat untuk mentaati berbagai ketentuan-ketentuan hukum lingkungan. Karena itu, pelaksanaan penegakan hukum yang bersifat preventif adalah suatu keutamaan dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan.

Esensi pentaatan hukum lingkungan tersebut bersumber dari fungsi keberadaan lingkungan hidup (khususnya sumber daya alam) sebagai obyek hukum lingkungan yang harus dilestarikan fungsinya dan sekaligus sebagai sumber daya yang diperuntukkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Dengan kata lain, hak rakyat indonesia berupa kesejahteraan hidup sebagai pemilik sumber daya alam sejajar dengan obyek hukum lingkungan seperti keberadaan kawasan konservasi.

Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkeadilan
Peranan sentral pemerintah sebagai pemegang kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan adalah jembatan untuk menghubungkan antara hak kesejahteraan masyarakat dan terjaminnya keberadaan kawasan konservasi.

Hal tersebut selaras pula dengan salah satu prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni mewujudkan keadilan inter dan antar generasi.

Prinsip tersebut di satu sisi menghendaki perlindungan kawasan konservasi sebagai jaminan bagi generasi akan datang untuk memenuhi kehidupannya. Namun di lain sisi, negara juga berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat generasi yang sekarang melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.

Pemerintah bertanggung jawab untuk membuat perencanaan dan pengelolaan yang mampu menjamin distribusi pemanfaatan sda secara berkeadilan agar jaminan kesejahteraan seluruh masyarakat baik generasi sekarang dan yang kan datang dapat terwujud.

Ketidakmampuan pemerintah untuk membuat perencanaan dan pengelolaan yang mampu menjamin distribusi pemanfaatan sda secara cermat merupakan akar masalah terjadinya berbagai konflik sda.
Keyataannya sampai saat ini, distribusi pemanfaatan sda khususnya hak pemanfaatan lahan, sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat dengan konsesi lahan puluhan ribu sampai ratusan ribu hektar. Kepala BPN Joyo Winoto bahwa 56 persen aset negeri ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

Ketidakberdayaan, keengganan, dan/atau bahkan “keinginan” pemerintah akan sangat mempengaruhi terwujudnya keseimbangan kedua kepentingan tersebut.

Pemerintah haruslah mampu mengakomodir kesejahteraan masyarakat kualakambas dan kualasekapuk yang memiliki hak atas kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut dapat salah satunya dicapai melalui pemberian hak pengelolaan dalam pemanfaatan sda.

Apabila kenyataanya tidak terdapat pilihan lain untuk mempertahankan kehidupannya, maka warga Kualakambas dan Kualasekapuk dalam rangka mempertahankan keidupannya tidak memiliki pilihan selain merambah dan bertempat tinggal di kawasan TNBBS.

Karena itulah sangat diperlukan penyelesaian yang komprehensif dengan mempertimbangkan terpenuhinya hak-hak masyarakat yang sekarang dan juga yang akan datang. Penegakan hukum yang represif seperti pembakaran pemukiman warga di TNWK merupakan bentuk pelaksanaan tanggung jawab pemerintah yang bersifat instan, insidental, komensalis, parsial, dan sektoral.

Pada satu sisi memberikan perlindungan terhadap generasi akan datang, namun di lain sisi adalah bentuk pengingkaran terhadap jaminan kesejahteraan rakyat bagi generasi sekarang.

Peristiwa pembakaran itu membuktikan bahwa negara melalui aparatur pemerintahnya, telah mangkir dari tugas dan tanggung jawabnya dalam mensejahterakan masyarakat.

Karena itulah Koesnadi lebih lanjut menegaskan, bahwasanya penegakan hukum lingkungan di kawasan konservasi tidak selesai hanya dengan mempertahankan keberadaan kawasan konservasi dari para perambah hutan, namun penting untuk dipikirkan dan diberikan solusi mengenai alih tempat tinggal, pekerjaan, serta kehidupan sosial budaya yang baru bagi para perambah hutan. Tujuannya tidak lain untuk menjamin agar para perambah tidak kembali merambah hutan.

Penyelesaian “Win-Win Solution”
Aparat penegak hukum selayaknya menghindarkan diri dari klaim, bahwa penegakan hukum yang dilaksanakannya “paling benar” atau sudah sesuai prosedur PUU yang berlaku.

Apabila aparat penegak hukum berpegang bahwa metode penyelesaian yang dilakukannya bukanlah yang terbaik, maka kemungkinan adanya solusi lain yang lebih baik dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi akan terbuka lebar.

Apabila pemerintah mau bersikap terbuka, maka peran serta masyarakat, baik akademisi, tokoh agama, masyarakat, serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya akan dapat dilaksanakan. Dengan begitu upaya untuk menemukan sebuah solusi yang terbaik akan dapat diwujudkan. Lebih lanjut, karena solusi yang diwujudkan merupakan kesepakatan bersama, maka solusi yang dilaksanakan tentunya akan lebih efektif dan pemerintah akan diuntungkan karena tidak perlu melaksanakan pengawasan sehingga meminimalisir keluarnya sumber daya milik pemerintah.

Dalam kasus Kualakambas dan Kualasekapuk, berbagai pihak menyakini bahwa masyarakat tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan. Keberadaan perkebunan dan bukti perambahan hutan seperti illegal logging juga tidak ditemukan di sekitar pemukiman mereka.

Karena itu, masyarakat Kualakambas dan Kualasekapuk tidak layak di berikan cap sebagai masyarakat perambah hutan. Bahkan mereka memiliki potensi untuk dijadikan penjaga kawasan TNBBS dari kegiatan illegal logging dan kegiatan negatif lainnya.

Entah tindakan aparat dilandasi oleh kepentingan konservasi atau kepentingan lainnya, namun apabila bekerjasama dengan masyarakat tentunya baik pemerintah maupun masyarakat mendapatkan keuntungan.

Disatu sisi masyarakat tetap mempunyai tempat tinggal dan mata pencahariannya. Sementara dilain sisi, pemerintah mendapat bantuan dari masyarakat untuk mengawasi kelestarian kawasan konservasi seperti TNWK.

Bukankah selama ini pemerintah pusat dan daerah juga selalu mengeluhkan akan minimnya sumberdaya baik anggaran serta SDM dalam mengawasi kawasan konservasi di Indonesia termasuk TNWK.

Lantas pertanyaannya, mengapa saat itu pemerintah seolah mesti melaksanakan tindakan represif…

Leave a comment »

LANDASAN PEMBANGUNAN HUTAN KOTA

Pembangunan Berkelanjutan dan RTH

Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) secara tersirat mengamanatkan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang dapat menjamin kesejahteraan generasi masa kini dan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan dicapai dengan mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup.
Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan berwawasan lingkungan.

Pembangunan berwawasan lingkungan mempunyai arti bahwa pembangunan itu serasi dengan lingkungan hidup sehingga tidak mengganggu fungsi ekologinya. Oleh sebab itu, setiap keputusan pembangunan harus memasukkan berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek lingkungan, disamping pengentasan kemiskinan dan pola komsumsi sehingga hasil pembangunan akan memberikan hasil yang paling baik bagi peningkatan kualitas hidup manusia

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam wilayah perkotaan dapat diwujudkan dengan memperhatikan pemanfaatan unsur-unsur utama dalam lingkungan hidup seperti air, udara, tanah, dan ruang. Penggunaan unsur-unsur tersebut dalam pembangunan harus memperhatikan keselarasan aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup sehingga kualitas lingkungan ruang di suatu wilayah memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kebijakan nyata dalam mewujudkan kualitas ruang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di wilayah kota adalah melalui penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah perkotaan. Pengertian RTH di dalam Pasal 1 butir 31 UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (yang selanjutnya disebut UUPR) adalah, area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Keberadaan kawasan Ruang Terbuka Hijau di suatu wilayah perkotaan adalah upaya untuk menjamin kualitas lingkungan yang baik di suatu wilayah. Sebagaimana tersirat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), maka keberadaan RTH diperlukan untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (Permendagri RTHKP), disebutkan 23 jenis RTHKP, yang meliputi: taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan taman atap (roof garden).

Hutan Kota

Salah satu jenis RTH yang memiliki fungsi ekologis paling baik adalah hutan kota. Ketentuan tanaman serta luas 90% tutupan vegetasi tanaman pada pembangunan Hutan Kota, menjadikan hutan kota memiliki manfaat ekologis tertinggi daripada jenis-jenis RTH lainnya. Oleh sebab itu, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No.63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, mengamanatkan presentase penyediaan hutan kota di suatu wilayah seluas paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Pengertian Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Keberadaan hutan kota dapat membuat kualitas lingkungan membaik dan berfungsi efektif dalam meredam kebisingan, juga menyerap panas, meningkatkan kelembapan, mengurangi debu, mengakumulasi polutan serta menciptakan suasana nyaman, sehat, dan estetis.

Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.

Fungsi hutan kota adalah untuk :
a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;
b. meresapkan air;
c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan
d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Peran Hutan Kota
1. Terhadap kualitas lingkungan kota
a. meningkatkan kualitas atmosfer kota
b. penyegaran udara
c. menurunkan suhu kota
d. menyapu debu permukaan kota
e. menurunkan kadar polusi (CO2)
f. meredam kebisingan
2. Terhadap kelestarian lingkungan
a. menunjang tata guna dan tata air
b. menunjang tata guna dan pelestarian tanah
c. menunjang pelestarian plasma nutfah

Dalam makalah Lokakarya IPB, RTH, termasuk hutan kota di dalamnya, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi (kawasan wisata kuliner). Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota. Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaanya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota.

RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, pendukung arsitektur kota, dan tempat wisata kuliner.

Penutup

Melihat fungsi dan manfaat Hutan Kota tersebut diatas, maka keberadaan hutan kota di suatu wilayah adalah suatu keniscayaan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Keberadaan hutan kota diharapkan dapat menghindari suatu wilayah dari berbagai bencana akibat buruknya kualitas lingkungan karena mengabaikan keberadaan RTH, seperti bencana banjir dan penurunan/ amblasnya tanah, serta kualitas udara dan air yang buruk sebagaimana yang terjadi di ibukota kita tersayang, Jakarta.

Dasar Hukum Pembangunan Hutan Kota

Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.71/ Menhut-II/ 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kota
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Comments (1) »

Penataan Ruang Wilayah Kota

Penataan Ruang Wilayah Kota

Pengaturan mengenai penataan ruang untuk wilayah kota dan/atau perkotaan terlebih dahulu diatur dalam peraturan perundang-undangan ketimbang penataan ruang untuk keseluruhan wilayah. Hal tersebut dikarenakan intensitas kegiatan di perkotaan yang jauh lebih cepat dan lebih tinggi daripada wilayah diluar perkotaan. Pengaturan mengenai penataan ruang wilayah perkotaan bahkan telah diatur sejak jaman penjajahan oleh Belanda, yaitu dengan Stadsvormingsordonantie (SVO)/ Ordonansi Pembentukan Kota dan Stadsvormingsverordening (SVV)/ Peraturan Pembentukan Kota.

Sesuai dengan Pasal 5 Ayat (3) UUPR, maka penyelenggaraan penataan ruang yang didasarkan atas wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/ kota. Dalam Pasal 6 Ayat (2) UUPR dijelaskan bahwa, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/ kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Komplementer maksudnya bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 UUPR maka kewenangan penyelenggaraan penataan ruang diberikan oleh negara kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 Undang-undang 32 Tahun 2004 yang telah direvisi dengan UU No.12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan bahwa kewenangan pemerintah kota mencakup kewenangan di dalam bidang perencanaan struktur tata ruang, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang serta penatagunaan tanah dan penataan ruang wilayah kota.

Dalam Pasal 65 ayat (1) UUPR dijelaskan bahwa, penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Kemudian pada Ayat (3) dijelaskan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, penataan ruang diarahkan untuk mampu mewujudkan wilayah kota yang berkelanjutan. Penataan ruang yang bertumpu pada kerangka pikir pembangunan berkelanjutan akan mendorong dibuatnya tatanan hukum yang memuat aspek-aspek ekologi, partisipasi publik, dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perkotaan. Pengembangan hukum penataan ruang yang telah mengakomodasi pemikiran kota berkelanjutan dalam bingkai sustainable development diharapkan dapat mewujudkan terbangunnya kota yang berkelanjutan, yang memperhatikan aspek ekologi, partisipasi publik dan keberlanjutan .

Leave a comment »

Landasan Pembangunan Berkelanjutan

Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan bagi bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai, bila didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam. Oleh sebab itu, manusia, masyarakat, dan lingkungan hidup memiliki hubungan timbal balik yang harus selalu dibina dan dikembangkan agar tetap dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan yang dinamis. Keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan, didekati dari sudut pengaruh manusia kepada sumber alam. Jumlah penduduk dan penyebaran penduduk menimbulkan tekanan kepada sumber alam, sehingga merusak lingkungan .

Menurut Emil Salim, Hakekat pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa pembangunan mencakup:
1. Kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-lain
2. Kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat;
3. Kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial .

Sedangkan hakekat membangun manusia Indonesia yang utuh, berarti membangun manusia yang memiliki ciri-ciri: 1. Keselarasan manusia dengan Tuhan Maha Pencipta; 2. Keselarasan hubungan individu dengan masyarakat; 3. Keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Keselarasan, keseimbangan, dan keserasian antara diri manusia dengan Tuhan, masyarakat dan lingkungan adalah ciri-ciri utama yang ingin dibangun dalam diri Manusia dan Masyarakat Indonesia.

Maka segala barang material dan nonmaterial yang dibangun baru mencapai sasarannya, apabila secara fungsional segalanya ini mendorong terwujudnya ciri-ciri Manusia Indonesia yang utuh tersebut. Maka konsep pembangunan di tanah air kita Indonesia, yang kita ikhtiarkan ialah “pembangunan dengan pengembangan lingkungan”, bukan “pembangunan berhadapan dengan pengembangan lingkungan”, bukan pula “pembangunan di sana, pengembangan lingkungan disini” .

Sebagai landasan konstitusionil, di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pada alinea ke-4 yang berbunyi:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Ketentuan tersebut melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia serta menegaskan “kewajiban negara” untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia, dan segenap umat manusia.

Kemudian, berdasarkan ketentuan dasar tersebut maka dirumuskan, di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan tersebut memberikan “hak penguasaan” kepada negara atas seluruh sumberdaya alam Indonesia dan memberikan “kewajiban kepada negara” untuk menggunakannya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat . Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat dinikmati generasi masa kini dan generasi mendatang secara berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut, pembangunan yang harus dilaksanakan secara konsisten di negara Indonesia adalah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yang kemudian ditegaskan dalam pertimbangan UUPLH, yaitu:

”Bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.”

”Perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup”

Comments (2) »

Pengertian dan Ruang Lingkup Pembangunan Berkelanjutan

Pada tahun 1987 laporan Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development/ WCED) mengumumkan laporannya yang banyak dikenal sebagai laporan Brundlandt, nama ketua Komisi tersebut. Laporan itu memberi sumbangan yang besar pada pengertian tentang hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup. Inti konsep Komisi ini ialah pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sebelumnya, Konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Eco-development) dari Deklarasi Stockholm 1972.

Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, oleh Brundtland Report tahun 1987 dimaknai sebagai “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”

Konsep ini oleh WCED, diartikan sebagai ”pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (generasi yang akan datang)”.

Selanjutnya pembangunan berkelanjutan diadopsi ke dalam salah satu prinsip di dalam Deklarasi Rio 1992 Tentang Pembangunan dan Lingkungan Hidup, di mana Prinsip ke-3 menyebutkan “The right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations.”

konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) dari Deklarasi Rio de Janeiro telah melahirkan konsep baru, yaitu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Eco-sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia secara berkelanjutan, dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan sumber alam yang menopangnya dalam suatu ruang wilayah daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dengan pemanfaatan ruang wilayah beserta potensi sumber daya yang ada bagi tujuan pembangunan manusia atau masyarakatnya itu sendiri. Lebih lanjut menurut Aca Sugandhy, maka dalam konsep pembangunan berkelanjutan segala upaya pemanfaatan sumber daya, pengembangan teknologi, perubahan tatanan kelembagaan, peningkatan investasi, harus diarahkan secara harmonis dan terpadu untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa mendatang.

Menurut Keraf, paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukan sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan.

Lebih lanjut menurut Keraf, cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Mengutip pendapat Hans-Joachim maka, pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan yang lainnya .

Pembangunan berkelanjutan mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi merata dengan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat serta antar generasi. Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan mempunyai arti bahwa pembangunan itu serasi dengan lingkungan hidup sehingga tidak mengganggu fungsi ekologinya. Fungsi itu diperlukan bagi keberlanjutannya pembangunan, bahkan kelangsungan hidup manusia .

Pembangunan berwawasan lingkungan hidup merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang. Sifat keterkaitan sumber daya alam dan tatanan lingkungan mengharuskan cara dan mekanisme pembangunan yang memperhatikan keterkaitan tersebut. Hal ini memberikan konsekuensi di mana pengembangan yang dilakukan di suatu sektor harus memperhatikan dampaknya pada pengembangan sektor lainnya. Selain itu, keterkaitan manusia pribadi sebagai mahluk sosial dengan lingkungan sosialnya perlu diperhatikan pula. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya melihat manusia sebagai individu yang berdiri sendiri saja, tetapi juga memperhatikan dampak pembangunan terhadap kedudukan manusia sebagai mahluk sosial .

Lebih lanjut, maka pembangunan berwawasan lingkungan menghendaki syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pembangunan itu sarat dengan nilai, dalam arti bahwa ia harus diorientasikan untuk mencapai tujuan ekologis, sosial, dan ekonomi.
2. Pembangunan itu membutuhkan perencanaan dan pengawasan yang seksama pada semua tingkat.
3. Pembangunan itu menghendaki pertumbuhan kualitatif setiap individu dan masyarakat.
4. Pembangunan membutuhkan kriteria dan dukungan semua pihak bagi terselenggaranya keputusan yang demokratis.
5. Pembangunan membutuhkan suasana yang terbuka, jujur dan semua yang terlibat senantiasa memperoleh informasi yang aktual .

Sedangkan pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup di dalam UU No.23 Tahun 1997 UUPLH adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan . Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup memerlukan keterpaduan dan koordinasi yang mantap antara pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan dalam suatu kurun waktu, dimensi ruang, dan terkoordinasi agar tepat guna, berhasil guna, dan berdaya guna. oleh sebab itu maka setiap keputusan pembangunan harus memasukkan berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek lingkungan, disamping pengentasan kemiskinan dan pola komsumsi sehingga hasil pembangunan akan memberikan hasil yang paling baik bagi peningkatan kualitas hidup manusia .

Pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 Ayat (4), yang berbunyi : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Penambahan ayat baru dalam Amandemen UUD 1945 setidaknya telah mengikuti dinamika yang ada sejalan dengan diterimanya strategi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Indonesia sebagai negara hukum. Amanat konstitusi kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Dalam pertimbangan UUPPLH, Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pasal 1 Angka 3 UUPPLH, “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Penjelasan UUPPLH, “Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan”.

Menurut Emil Salim, persoalan lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari mekanisme pasar yang tidak menangkap isyarat sosial dan lingkungan. Karena itu, perlu mengoreksi kekurangannya untuk mengimbangi pembangunan sosial dan lingkungan dengan pembangunan ekonomi. Intervensi dapat dilakukan oleh lembaga segitiga yang sebangun, yakni Pemerintah, Pengusaha, dan Masyarakat Madani. Antara ketiga kekuatan terdapat hubungan “check and balance” pada tingkat yang sama sehingga kepentingan ketiga kekuatan tersebut bisa dipelihara keseimbangnya. (Dikutip dari Disertasi Harry Supriyono).

Comments (2) »