Pencemaran Minyak Montara – Pencemaran Laut Timor
Kronologi Kasus
Pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP-AA) meledak. Kemudian pada tanggal 9 november 2009 kebocoran tersebut dapat diatasi.
Selama rentang waktu tersebut, kebocoran telah menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan negara Republik Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor. Akibatnya, warga negara Indonesia khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor menderita kerugian baik moril dan materiil.
Setelah 1 tahun peristiwa itu, penyelesaian kasus pencemaran laut timor itu belum mampu menampakkan arah penyelesaian yang jelas. Sebagai perbandingan, presiden Amerika Serikat, Obama, dalam waktu 3 bulan telah mampu memberikan arah yang jelas dalam menyelesaikan permasalahan serupa, yakni pencemaran minyak di Teluk Meksiko.
Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, mengenai kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah kita dalam memperjuangkan kehidupan masyarakatnya?, mengingat dampak pencemaran di Laut Timor adalah 2 kali lebih parah daripada pencemaran di teluk meksiko.
Sampai dengan bulan maret 2011, pemerintah melalui kementerian perikanan, Freddy Numberi, menyepakati ganti rugi sebesar 5 juta dolar (45 miliar). Namun, apakah ganti rugi untuk awal penyelesaian kasus –itikad baik melanjutkan negoisasi-, ataukah ganti rugi secara keseluruhan –menghapuskan tanggung jawab Montara-, itu tidak ditegaskan oleh pemerintah kita.
Keanehan lain, yang sangat penting adalah, pemberian ganti rugi tersebut tidak memperjelas berbagai pertanyaan, seperti
1. Apakah laut Indonesia tercemar? –pembayaran ganti rugi, secara tidak langsung menegasikan terjadinya pencemaran-
2. Kalau iya, berapa luasan laut yang tercemar?
3. Sebesar apa dampak akibat pencemaran?
4. Berapa besar total kerugian rill, yang diderita oleh masyarakat di sekitar laut Timor?
5. Berapa besar total kerugian lingkungan di wilayah Indonesia, akibat tumpahan minyak tersebut
Freddy Numberi mengklaim, “Dari hasil laporan, mereka setuju untuk ganti rugi 5 juta dolar AS kepada masyarakat yang terkena dampak. Tadinya mereka minta 1 juta dolar AS, tetapi kami tidak setuju,” kata Numberi.
Sementara menurut ketua YPTB, Ferdi Tanoni, penulis buku Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta, ”tawaran ganti rugi itu bukan sebuah hal baru. Sebab, pada Juli 2010, tawaran yang sama diajukan oleh PTTEP Australasia dan diprotes keras oleh YPTB”.
Lucunya, dan sulit untuk diterima akal sehat, sebelumnya pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) tidak menerima tawaran ganti rugi 5 juta dolar. Pemerintah mengklaim kerugian sebesar 2,3 miliar dolar AS (sekitar Rp 22 triliun).
Sebagai bangsa Indonesia yang dikarunia akal dan pikiran, coba anda bayangkan, dari 22 triliun menjadi 45 miliar…, ckckck, sangat sulit untuk bisa diterima dengan akal sehat bukan
Berbagai kumpulan berita tentang pencemaran Montara
NTT Taksir Kerugian Pencemaran Laut Timor Rp.700 Miliar, (Tempo Interaktif, Selasa 27 Juli 2010)
• Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer persegi. Hasil pantauan pada 13 titik uji sampel juga menemukan kandungan polikarbonat aposiklik hidrokarbon (PAH) 50-270 mikrogram per liter atau jauh melebihi ambang batas, 30 mikrogram per liter.
• Di perairan Pulau Rote, misalnya, kandungan PAH mencapai 270 mikrogram per liter. ”Artinya, kandungan minyak terlarut sangat tinggi. Akibatnya, ikan yang dikonsumsi kemungkinan mengandung zat berbahaya dan jika dikonsumsi dapat berdampak penyakit pada manusia, seperti kanker,” ujar Gellwyn yusuf (ketua BRKP).
“Indonesia Minta Ganti Rugi Atas Tumpahan Minyak Laut Timor”, (dari sumber Kominfo-Newsroom, Jakarta, 27/7/2010),
• Sementara itu otoritas Australia mengakui tumpahan minyak mentah akibat meledaknya ladang minyak Montara di Celah Timor, telah memasuki perairan Indonesia.
• Kini tumpahan itu telah mendekati 51 mil laut dari Pulau Rote yang terletak di wilayah paling selatan Indonesia dan mengancam biota laut di perairan Indonesia, termasuk rumput laut yang dibudidayakan secara besar-besaran di Rote Ndao.
• Bahkan sesuai data tertulis dari pihak Australia yang melakukan pemantauan tumpahan minyak hingga ke wilayah perbatasan dan menemukan ada gumpalan minyak mentah yang memasuki wilayah selatan Indonesia.
“Sekitar 38,15 Persen Laut Timor Tercemar Minyak”, Antara, Kamis 10 Desember 2009.
Hasil uji laboratorium (metode gravimetry) afiliasi departemen kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 38,15 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar minyak mentah.
Tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang diperkirakan mencapai sekitar 40 juta liter lebih minyak mentah.
Tempointeraktif, “Sekitar 56 Ribu Kilometer Persegi Laut Rote Tercemar Minyak Montara, (1-08-2010)”
Pemerintah Rote Ndao menyatakan sekitar 56.000 kilometer persegi wilayah perairan Pulau Rote telah tercemar minyak dari Montara,” kata Tanoni di Kupang, Minggu (1/8/2010).
Akibat dari pencemaran itu, menurut dia, usaha petani rumput laut di wilayah perairan Rote Ndao gagal total, karena terserang penyakit “ais-ais”, dan tercemar minyak. Sehingga sekitar 20 ribu kepala keluarga nelayan dan petani rumput laut di Rote Ndao terancam kehilangan mata pencaharian dari usaha tersebut. “Ada puluhan ribu nelayan dan petani rumput laut yang kehilangan pekerjaan akibat pencemaran itu,” katanya.
Namun, kata dia, Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang dipimpin Menteri Perhubungan, Freddy Numberi mengatakan hanya sekitar 16.000 km persegi saja perairan Indonesia yang tercemar minyak Montara.
Sementara ahli manajemen perikanan Australia mengatakan keyakinannya bahwa dari sekitar 90.000 km persegi pencemaran minyak di Laut Timor, 75-85 persennya berada di perairan Indonesia
Bupati Rote Ndao, Lens Haning, sebelumnya, mengatakan produksi rumput laut di Kabupaten Rote Ndao, mengalami penurunan signifikan, karena laut di perairan itu tercemar minyak. “Produksi rumput laut menurun hingga 10 persen. Penurunan ini diduga akibat pencemaran minyak yang terjadi perairan Pulau Rote,” katanya
Total produksi petani rumput laut di Pulau Rote sebelum terjadinya pencemaran minyak mencapai 7.000 ton per tahun, namun setelah laut tercemar menurun menjadi 2.000 ton per tahun.
Selain rumput laut, lanjutnya, nelayan Rote juga mengeluhkan banyaknya ikan yang mati dan kerusakan biota laut. “Kerugian yang dialami nelayan dan petani harus dihitung untuk mendapatkan ganti rugi,” katanya.
Total kerugian
NTT Taksir Kerugian Pencemaran Laut Timor Rp.700 Miliar, (Tempo Interaktif, Selasa 27 Juli 2010)
• Tanggal 27 juli 2010, gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mentaksasi kerugian pencemaran di Laut Timor akibat meledaknya ladang minyak Montara di Block Atlas sekitar Rp 700 miliar lebih.
• Tim advokasi nasional memperkirakan kerugian mencapai angka 860 miliar.
• Ketua yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni meminta pemerintah mengajukan ganti rugi ke PTTEP Australasia sebesar US$15 miliar atau setara Rp. 140 Triliun.
Pengamat maritim dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie (Dosen FISIP UI) mengulang peryataan beberapa pihak yakni, “Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan total ganti rugi pencemaran laut Timor mencapai US$5 juta. Di sisi lain, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mencapai US$10 juta sementara Gubernur NTB menyatakan jumlah total kerugian US$700 juta. Kemudian pendataan dari tim nasional justru “turun” hingga Rp247 juta. (media Indonesia, “Pemerintah Lupakan Kepentingan Strategis”, 29 Juli 2010)
Pencemaran Laut Timor digubah jadi lagu
Sabtu, 11 Februari 2012 11:29 WIB (Antara-Warta Bumi)
Kupang (ANTARA News) – Pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, telah dipoles menjadi sebuah lagu oleh pemerhati masalah Laut Timor, Ferdi Tanoni.
“Gubahan lagu ini sebagai bentuk ungkapan dan rintihan hati masyarakat Nusa Tenggara Timur atas tragedi pencemaran yang hingga kini tak kunjung terselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dan Australia,” kata Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Kupang, Sabtu.
Ia menjelaskan, lagu rintihan yang diberi judul “Beta Laut Timor” itu akan mengupas pula seluruh permasalahan yang terjadi di Laut Timor, seperti batas laut antara Indonesia-Australia-Timor Leste yang hingga kini belum juga tuntas setelah Timor Timur menyatakan merdeka melalui referendum pada Agustus 1999.
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu mengatakan ada beberapa lirik lagu tersebut mengisahkan pula tentang kandungan mineral di Laut Timor yang sering dieksploitasi secara ilegal oleh pihak asing.
Penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta” itu menambahkan album “Beta Laut Timor” akan diluncurkan pada awal Maret 2012, bertepatan dengan pelaksanaan seminar internasional tentang Pencemaran Laut Timor di Jakarta.
“Tembang perdana lagu ini akan dinyanyikan oleh Ebiet G Ade, salah seorang penyanyi lagu-lagu rakyat Indonesia. Kami sedang berupaya melakukan pendekatan dengan Ebiet G Ade untuk melantunkan tembang tersebut,” katanya.
Ketika ditanya lebih jauh soal alasannya memoles petaka pencemaran minyak di Laut Timor itu menjadi sebuah lagu, dengan enteng Tanoni mengatakan bahwa perjuangan terhadap kepentingan banyak orang tidak hanya dilakukan lewat diplomasi, tetapi juga bisa dilakukan lewat syair-syair lagu.
“Musik juga bisa menjadi salah bentuk keprihatinan yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia dan Australia yang tidak serius menyelesaikan masalah pencemaran di Laut Timor,” ujarnya.
Ia menambahkan sudah hampir tiga tahun lamanya pencemaran di Laut Timor itu terjadi, namun sampai sejauh ini tidak pernah menunjukkan adanya upaya-upaya nyata dari kedua pemerintahan (RI-Australia) dalam menyelesaikannya bersama perusahaan pencemar, PTTEP Australasia.
Tanoni mengatakan harapan serta kritikan lewat syair-syair lagu “Beta Laut Timor” itu, bukan mengakhiri perjuangan YPTB terhadap kasus tersebut, tetapi akan mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Federal Australia atas tragedi Montara yang mencemari Laut Timor.
Berdasarkan data yang dimiliki YPTB, kata dia, tumpahan minyak montara yang mencemari Laut Timor mencapai sekitar 90.000 kilometer persegi dari diperkirakan semula sekitar 25.000 kilometer persegi.
Akibatnya, puluhan ribu bahkan ratusan ribu masyarakat di Timor bagian barat NTT dan kepulauan sekitarnya, menderita berkepanjangan, akibat hasil tangkapan mereka menurun serta perairan budidaya rumput laut tercemar.
Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) Kupang, H Mustafa mengatakan kasus pencemaran tersebut membawa dampak buruk terhadap nelayan tradisional di NTT yang telah menjadikan Laut Timor sebagai ladang kehidupannya.
“Hasil tangkapan nelayan pascapencemaran Laut Timor, turun drastis antara 70-80 persen. Di Laut Timor adalah habitatnya ikan kakap merah, namun ikan-ikan tersebut sudah semakin sulit didapatkan,” katanya.
Kepala Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba Kupang Nimrot Jhony Jogeres Leka juga mengakui bahwa hasil tangkapan kakap merah dari Laut Timor dalam lima tahun terakhir menurun drastis jika dibandingkan dengan hasil tangkapan sebelum terjadinya pencemaran minyak di Laut Timor.
Pada 2007, misalnya, ikan kakap merah yang ditangkap mencapai 61,63 ton, sedang 2008 meningkat menjadi 64,39 ton, namun pada 2009 turun menjadi 43,1 ton dan turun terus menjadi 26,17 ton pada 2010 dan hanya mencapai 5,63 ton sampai Agustus 2011.
“Jika kita melihat pada volume penangkapan tersebut maka efek dari pencemaran minyak di Laut Timor membawa dampak buruk terhadap kehidupan kakap merah di wilayah perairan tersebut yang tergambar dari hasil tangkapan nelayan dalam lima tahun terakhir,” katanya menambahkan.
Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © 2012