Posts tagged Pencemaran Minyak Montara

Pencemaran Minyak Montara di Laut Timor

Pencemaran Minyak Montara – Pencemaran Laut Timor
Kronologi Kasus

Pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP-AA) meledak. Kemudian pada tanggal 9 november 2009 kebocoran tersebut dapat diatasi.

Selama rentang waktu tersebut, kebocoran telah menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan negara Republik Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor. Akibatnya, warga negara Indonesia khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor menderita kerugian baik moril dan materiil.

Setelah 1 tahun peristiwa itu, penyelesaian kasus pencemaran laut timor itu belum mampu menampakkan arah penyelesaian yang jelas. Sebagai perbandingan, presiden Amerika Serikat, Obama, dalam waktu 3 bulan telah mampu memberikan arah yang jelas dalam menyelesaikan permasalahan serupa, yakni pencemaran minyak di Teluk Meksiko.

Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, mengenai kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah kita dalam memperjuangkan kehidupan masyarakatnya?, mengingat dampak pencemaran di Laut Timor adalah 2 kali lebih parah daripada pencemaran di teluk meksiko.

Sampai dengan bulan maret 2011, pemerintah melalui kementerian perikanan, Freddy Numberi, menyepakati ganti rugi sebesar 5 juta dolar (45 miliar). Namun, apakah ganti rugi untuk awal penyelesaian kasus –itikad baik melanjutkan negoisasi-, ataukah ganti rugi secara keseluruhan –menghapuskan tanggung jawab Montara-, itu tidak ditegaskan oleh pemerintah kita.

Keanehan lain, yang sangat penting adalah, pemberian ganti rugi tersebut tidak memperjelas berbagai pertanyaan, seperti
1. Apakah laut Indonesia tercemar? –pembayaran ganti rugi, secara tidak langsung menegasikan terjadinya pencemaran-
2. Kalau iya, berapa luasan laut yang tercemar?
3. Sebesar apa dampak akibat pencemaran?
4. Berapa besar total kerugian rill, yang diderita oleh masyarakat di sekitar laut Timor?
5. Berapa besar total kerugian lingkungan di wilayah Indonesia, akibat tumpahan minyak tersebut

Freddy Numberi mengklaim, “Dari hasil laporan, mereka setuju untuk ganti rugi 5 juta dolar AS kepada masyarakat yang terkena dampak. Tadinya mereka minta 1 juta dolar AS, tetapi kami tidak setuju,” kata Numberi.

Sementara menurut ketua YPTB, Ferdi Tanoni, penulis buku Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta, ”tawaran ganti rugi itu bukan sebuah hal baru. Sebab, pada Juli 2010, tawaran yang sama diajukan oleh PTTEP Australasia dan diprotes keras oleh YPTB”.

Lucunya, dan sulit untuk diterima akal sehat, sebelumnya pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) tidak menerima tawaran ganti rugi 5 juta dolar. Pemerintah mengklaim kerugian sebesar 2,3 miliar dolar AS (sekitar Rp 22 triliun).

Sebagai bangsa Indonesia yang dikarunia akal dan pikiran, coba anda bayangkan, dari 22 triliun menjadi 45 miliar…, ckckck, sangat sulit untuk bisa diterima dengan akal sehat bukan


Berbagai kumpulan berita tentang pencemaran Montara

NTT Taksir Kerugian Pencemaran Laut Timor Rp.700 Miliar, (Tempo Interaktif, Selasa 27 Juli 2010)
• Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer persegi. Hasil pantauan pada 13 titik uji sampel juga menemukan kandungan polikarbonat aposiklik hidrokarbon (PAH) 50-270 mikrogram per liter atau jauh melebihi ambang batas, 30 mikrogram per liter.
• Di perairan Pulau Rote, misalnya, kandungan PAH mencapai 270 mikrogram per liter. ”Artinya, kandungan minyak terlarut sangat tinggi. Akibatnya, ikan yang dikonsumsi kemungkinan mengandung zat berbahaya dan jika dikonsumsi dapat berdampak penyakit pada manusia, seperti kanker,” ujar Gellwyn yusuf (ketua BRKP).

“Indonesia Minta Ganti Rugi Atas Tumpahan Minyak Laut Timor”, (dari sumber Kominfo-Newsroom, Jakarta, 27/7/2010),
• Sementara itu otoritas Australia mengakui tumpahan minyak mentah akibat meledaknya ladang minyak Montara di Celah Timor, telah memasuki perairan Indonesia.
• Kini tumpahan itu telah mendekati 51 mil laut dari Pulau Rote yang terletak di wilayah paling selatan Indonesia dan mengancam biota laut di perairan Indonesia, termasuk rumput laut yang dibudidayakan secara besar-besaran di Rote Ndao.
• Bahkan sesuai data tertulis dari pihak Australia yang melakukan pemantauan tumpahan minyak hingga ke wilayah perbatasan dan menemukan ada gumpalan minyak mentah yang memasuki wilayah selatan Indonesia.

“Sekitar 38,15 Persen Laut Timor Tercemar Minyak”, Antara, Kamis 10 Desember 2009.
Hasil uji laboratorium (metode gravimetry) afiliasi departemen kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 38,15 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar minyak mentah.
Tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang diperkirakan mencapai sekitar 40 juta liter lebih minyak mentah.

Tempointeraktif, “Sekitar 56 Ribu Kilometer Persegi Laut Rote Tercemar Minyak Montara, (1-08-2010)”
Pemerintah Rote Ndao menyatakan sekitar 56.000 kilometer persegi wilayah perairan Pulau Rote telah tercemar minyak dari Montara,” kata Tanoni di Kupang, Minggu (1/8/2010).

Akibat dari pencemaran itu, menurut dia, usaha petani rumput laut di wilayah perairan Rote Ndao gagal total, karena terserang penyakit “ais-ais”, dan tercemar minyak. Sehingga sekitar 20 ribu kepala keluarga nelayan dan petani rumput laut di Rote Ndao terancam kehilangan mata pencaharian dari usaha tersebut. “Ada puluhan ribu nelayan dan petani rumput laut yang kehilangan pekerjaan akibat pencemaran itu,” katanya.

Namun, kata dia, Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang dipimpin Menteri Perhubungan, Freddy Numberi mengatakan hanya sekitar 16.000 km persegi saja perairan Indonesia yang tercemar minyak Montara.

Sementara ahli manajemen perikanan Australia mengatakan keyakinannya bahwa dari sekitar 90.000 km persegi pencemaran minyak di Laut Timor, 75-85 persennya berada di perairan Indonesia

Bupati Rote Ndao, Lens Haning, sebelumnya, mengatakan produksi rumput laut di Kabupaten Rote Ndao, mengalami penurunan signifikan, karena laut di perairan itu tercemar minyak. “Produksi rumput laut menurun hingga 10 persen. Penurunan ini diduga akibat pencemaran minyak yang terjadi perairan Pulau Rote,” katanya
Total produksi petani rumput laut di Pulau Rote sebelum terjadinya pencemaran minyak mencapai 7.000 ton per tahun, namun setelah laut tercemar menurun menjadi 2.000 ton per tahun.

Selain rumput laut, lanjutnya, nelayan Rote juga mengeluhkan banyaknya ikan yang mati dan kerusakan biota laut. “Kerugian yang dialami nelayan dan petani harus dihitung untuk mendapatkan ganti rugi,” katanya.

Total kerugian
NTT Taksir Kerugian Pencemaran Laut Timor Rp.700 Miliar, (Tempo Interaktif, Selasa 27 Juli 2010)
• Tanggal 27 juli 2010, gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mentaksasi kerugian pencemaran di Laut Timor akibat meledaknya ladang minyak Montara di Block Atlas sekitar Rp 700 miliar lebih.
• Tim advokasi nasional memperkirakan kerugian mencapai angka 860 miliar.
• Ketua yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni meminta pemerintah mengajukan ganti rugi ke PTTEP Australasia sebesar US$15 miliar atau setara Rp. 140 Triliun.

Pengamat maritim dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie (Dosen FISIP UI) mengulang peryataan beberapa pihak yakni, “Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan total ganti rugi pencemaran laut Timor mencapai US$5 juta. Di sisi lain, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mencapai US$10 juta sementara Gubernur NTB menyatakan jumlah total kerugian US$700 juta. Kemudian pendataan dari tim nasional justru “turun” hingga Rp247 juta. (media Indonesia, “Pemerintah Lupakan Kepentingan Strategis”, 29 Juli 2010)

Pencemaran Laut Timor digubah jadi lagu
Sabtu, 11 Februari 2012 11:29 WIB (Antara-Warta Bumi)

Kupang (ANTARA News) – Pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, telah dipoles menjadi sebuah lagu oleh pemerhati masalah Laut Timor, Ferdi Tanoni.

“Gubahan lagu ini sebagai bentuk ungkapan dan rintihan hati masyarakat Nusa Tenggara Timur atas tragedi pencemaran yang hingga kini tak kunjung terselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dan Australia,” kata Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Kupang, Sabtu.

Ia menjelaskan, lagu rintihan yang diberi judul “Beta Laut Timor” itu akan mengupas pula seluruh permasalahan yang terjadi di Laut Timor, seperti batas laut antara Indonesia-Australia-Timor Leste yang hingga kini belum juga tuntas setelah Timor Timur menyatakan merdeka melalui referendum pada Agustus 1999.

Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu mengatakan ada beberapa lirik lagu tersebut mengisahkan pula tentang kandungan mineral di Laut Timor yang sering dieksploitasi secara ilegal oleh pihak asing.

Penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta” itu menambahkan album “Beta Laut Timor” akan diluncurkan pada awal Maret 2012, bertepatan dengan pelaksanaan seminar internasional tentang Pencemaran Laut Timor di Jakarta.

“Tembang perdana lagu ini akan dinyanyikan oleh Ebiet G Ade, salah seorang penyanyi lagu-lagu rakyat Indonesia. Kami sedang berupaya melakukan pendekatan dengan Ebiet G Ade untuk melantunkan tembang tersebut,” katanya.

Ketika ditanya lebih jauh soal alasannya memoles petaka pencemaran minyak di Laut Timor itu menjadi sebuah lagu, dengan enteng Tanoni mengatakan bahwa perjuangan terhadap kepentingan banyak orang tidak hanya dilakukan lewat diplomasi, tetapi juga bisa dilakukan lewat syair-syair lagu.

“Musik juga bisa menjadi salah bentuk keprihatinan yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia dan Australia yang tidak serius menyelesaikan masalah pencemaran di Laut Timor,” ujarnya.

Ia menambahkan sudah hampir tiga tahun lamanya pencemaran di Laut Timor itu terjadi, namun sampai sejauh ini tidak pernah menunjukkan adanya upaya-upaya nyata dari kedua pemerintahan (RI-Australia) dalam menyelesaikannya bersama perusahaan pencemar, PTTEP Australasia.

Tanoni mengatakan harapan serta kritikan lewat syair-syair lagu “Beta Laut Timor” itu, bukan mengakhiri perjuangan YPTB terhadap kasus tersebut, tetapi akan mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Federal Australia atas tragedi Montara yang mencemari Laut Timor.

Berdasarkan data yang dimiliki YPTB, kata dia, tumpahan minyak montara yang mencemari Laut Timor mencapai sekitar 90.000 kilometer persegi dari diperkirakan semula sekitar 25.000 kilometer persegi.

Akibatnya, puluhan ribu bahkan ratusan ribu masyarakat di Timor bagian barat NTT dan kepulauan sekitarnya, menderita berkepanjangan, akibat hasil tangkapan mereka menurun serta perairan budidaya rumput laut tercemar.

Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) Kupang, H Mustafa mengatakan kasus pencemaran tersebut membawa dampak buruk terhadap nelayan tradisional di NTT yang telah menjadikan Laut Timor sebagai ladang kehidupannya.

“Hasil tangkapan nelayan pascapencemaran Laut Timor, turun drastis antara 70-80 persen. Di Laut Timor adalah habitatnya ikan kakap merah, namun ikan-ikan tersebut sudah semakin sulit didapatkan,” katanya.

Kepala Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba Kupang Nimrot Jhony Jogeres Leka juga mengakui bahwa hasil tangkapan kakap merah dari Laut Timor dalam lima tahun terakhir menurun drastis jika dibandingkan dengan hasil tangkapan sebelum terjadinya pencemaran minyak di Laut Timor.

Pada 2007, misalnya, ikan kakap merah yang ditangkap mencapai 61,63 ton, sedang 2008 meningkat menjadi 64,39 ton, namun pada 2009 turun menjadi 43,1 ton dan turun terus menjadi 26,17 ton pada 2010 dan hanya mencapai 5,63 ton sampai Agustus 2011.

“Jika kita melihat pada volume penangkapan tersebut maka efek dari pencemaran minyak di Laut Timor membawa dampak buruk terhadap kehidupan kakap merah di wilayah perairan tersebut yang tergambar dari hasil tangkapan nelayan dalam lima tahun terakhir,” katanya menambahkan.

Editor: Ella Syafputri

COPYRIGHT © 2012

Leave a comment »

BANGSA INDONESIA PANTAS DIHINA – Pencemaran Minyak MONTARA

Tragedi Pencemaran Minyak oleh Montara, merupakan peristiwa kerusakan lingkungan laut terbesar dalam sejarah Australia. Diperkirakan tumpahan minyak ini mengotori wilayah sampai radius sekitar 250 kilometer kearah utara, hingga mencapai perairan Indonesia (Kelompok lingkungan WWF).

Lebih dari 400 ribu liter minyak telah tertumpah, sehingga menyebabkan kematian biota laut termasuk ikan paus dan lumba-lumba yang berada diwilayah ini.

Bahkan kerusakan lingkungan akibat bencana lingkungan ini, diduga melebihi tragedi minyak teluk meksiko….
sayangnya, ada dugaan, terjadinya negoisasi “di bawah meja” antara pemerintah RI dan australia dengan Montara. Jangan-jangan, ada dana suap yang besar di belakang layar, dana nya mungkin dipake buat kampanye demokrat lagi atau mungkin masuk ke oknum tertentu…

memang negara KAMPANG…masak, rakyat dirugikan, pemerintahnya DIAM saja….APARATUR KEPARAT semuanyaaaa

Ganti Rugi Montara Menghina RI
14 Mar 2011

Nasional
Republika

KUPANG – Operator ladang minyak Montara, PT-TEP Australasia, setuju membayarkan ganti rugi pencemaran minyak di Laut Timor sebesar 5 juta dolar AS (sekitar Rp 45 miliar). Pemerhati masalah Laut Timor menilai, ganti rugi itu merupakan bentuk penghinaan terhadap rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban pencemaran.

Ganti rugi itu diserahkan PTTEP Australasia melalui Menteri Perhubungan Freddy Numberi untuk kemudian diberikan kepada para nelayan dan petani rumput laut di NTT. Kuasa hukum Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang berkedudukan di Australia, Christin Mas-son, mengatakan kesepakatan yang dicapai Menteri Numberi dan PTTEP Australasia itu merupakan sebuah bentuk tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keji.

“Sungguh sangat tidak rasional jika bencana Montara yang mahadahsyat di Laut Timor itu hanya dihargai dengan lima juta dolar AS bagi para petani rumput laut dan nelayan di NTT yang menjadi korbannya,” katanya seperti yang disampaikan ketua YPTB, Ferdi Tanoni, di Kupang, Ahad (13/3).

Seperti dilansir Antara, sampai saat ini belum ada kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP Australasia mengenai total besaran ganti rugi yang harus dibayarkan pihak PTTEP Australasia. Soalnya, kedua pihak masih melakukan pencocokan data.

Sumur minyak Montara meledak pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor. Ledakan itu mengakibatkan 85.000 km persegi wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar minyak serta zat timah hitamyang berbahaya.

Pemerintah dan Australia melanggar konvensi hukum laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat Tahun 2007 sehingga bisa dituntut ke Mahkamah Internasional. “Saya bisa menuntut Jakarta dan Canberra ke Mahkamah Internasional atas pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang terjadi di Laut Timor akibat bencana pencemaran tersebut,” kecam Tanoni.

Dia menambahkan, jika Indonesia menerima ganti rugi itu, pemerintah secara langsung mengakui data-data ilmiah yang diklaim kepada PTTEP Australasia tidak valid. Itu artinya, pemerintah membenarkan bantahan PTTEP Australasia bahwa data dari Indonesia hanya berdasarkan pada asumsi belaka.

Menurutnya, tawaran ganti rugi itu bukan sebuahhal baru. Pada Juli 2010, tawaran yang sama diajukan oleh PTTEP Australasia dan diprotes keras oleh YPTB. Pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) tidak menerimanya dan mengklaim sebesar 2,3 miliar dolar AS (sekitar Rp 22 triliun). Jumlah itu ditolak oleh PTTEP Australasia.

Menteri Perhubungan Fredi Numberi menyampaikan pada Kamis (10/3) bahwa Indonesia akan menerima ganti rugi dari pihak PTTEP Australasia sebesar 5 juta dolar AS atas tumpahan minyak Montara di Laut Timor. “Dari hasil laporan, mereka setuju untuk ganti rugi 5 juta dolar AS kepada masyarakat yang terkena dampak. Tadinya mereka minta 1 juta dolar AS, tetapi kami tidak setuju,” kata Numberi.

Ganti Rugi Montara Menghina Rakyat NTT
Minggu, 13 Maret 2011 18:05 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG– Pemerhati masalah Laut Timor menilai ganti rugi yang diberikan operator ladang minyak Montara sebesar 5.000.000 dolar AS (sekitar Rp45 miliar) merupakan bentuk penghinaan terhadap rakyat Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban pencemaran.

“Ganti rugi tersebut akan diserahkan operator ladang minyak Montara, PTTEP Australasia melalui Menteri Perhubungan Freddy Numberi untuk kemudian diberikan kepada para nelayan dan petani rumput laut di NTT yang menjadi korban pencemaran Montara,” kata Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni kepada pers, Ahad.

Menteri Numberi dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/3), mengatakan Indonesia akan menerima ganti rugi dari pihak PTTEP Australasia sebesar 5 juta dolar AS atas tumpahan minyak akibat ledakan sumur minyak Montara di Laut Timor.

“Dari hasil laporan, mereka setuju untuk ganti rugi 5 juta dolar AS kepada masyarakat yang terkena dampak. Tadinya mereka minta 1 juta dolar AS tetapi kami tidak setuju. Dengan ada perkembangan sekarang, masyarakat jadi tidak bisa melaut,” kata Numberi.

Walau demikian, tambah Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), hingga saat ini belum ada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan PTTEP Australia mengenai total besaran ganti rugi yang harus dibayarkan pihak PTTEP Australasia, karena mereka masih melakukan pencocokan data.

Sumur minyak Montara meledak pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor yang mengakibatkan 85.000 km2 wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar minyak serta zat timah hitam yang berbahaya yang dimuntahkan dari sumur minyak tersebut.

Menurut Tanoni, tawaran ganti rugi sebesar 5 juta dolar AS itu bukanlah sebuah hal baru, karena pada Juli 2010 tawaran yang sama oleh PTTEP Australasia diprotes keras oleh YPTB. Kemudian pemerintah Indonesia melalui Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) mengajukan klaim sebesar 2,3 miliar dolar AS (sekitar Rp22 triliun), namun ditolak oleh PTTEP Australasia.

Sementara itu, pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum menilai bentuk ganti rugi yang diberikan kepada rakyat NTT melalui Menteri Freddy Numberi hanyalah sebuah dagelan politik yang menganggap rakyat NTT sebagai manusia yang tidak bermartabat.
Redaktur: Stevy Maradona
Sumber: Antara

GANTI RUGI MONTARA 5 JUTA DOLAR, KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN.

13 Maret 2011 16:46 WIB

GANTI RUGI MONTARA 5 JUTA DOLAR, KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN. Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni menilai ganti rugi yang diberikan operator ladang minyak Montara sebesar 5.000.000 dolar AS (sekitar Rp45 miliar) merupakan bentuk penghinaan keji terhadap rakyat Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban pencemaran. “Ganti rugi tersebut rencananya akan diserahkan operator ladang minyak Montara, PTTEP Australasia melalui Menteri Perhubungan Freddy Numberi untuk kemudian diberikan kepada para nelayan dan petani rumput laut di NTT yang menjadi korban pencemaran Montara,” kata Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) kepada pers di Kupang, Minggu. Menteri Numberi dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/3), mengatakan Indonesia akan menerima ganti rugi dari pihak PTTEP Australasia sebesar 5 juta dolar AS atas tumpahan minyak akibat ledakan sumur minyak Montara di Laut Timor. Walau demikian, tambahnya, hingga saat ini belum ada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan PTTEP Australasia mengenai total besaran ganti rugi yang harus dibayarkan pihak PTTEP Australasia, karena mereka masih melakukan pencocokan data. Kuasa hukum YPTB yang berkedudukan di Australia Christine Masson mengatakan kesepakatan yang dicapai Menteri Numberi dan PTTEP Australasia itu merupakan sebuah bentuk tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat keji. “Sungguh sangat tidak rasional jika bencana Montara yang maha dahsyat di Laut Timor itu hanya dihargai dengan lima juta dolar AS bagi para petani rumput laut dan nelayan di NTT yang menjadi korbannya,” katanya sebagaimana yang dikutip Tanoni. Sumur minyak Montara meledak pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor yang mengakibatkan 85.000 km2 wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar minyak serta zat timah hitam yang berbahaya yang dimuntahkan dari sumur minyak tersebut. Sementara itu, pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum menilai bentuk ganti rugi yang diberikan kepada rakyat NTT melalui Menteri Freddy Numberi hanyalah sebuah dagelan politik yang menganggap rakyat NTT sebagai manusia yang tidak bermartabat. Wetan Songa yang juga dosen pada Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan pemerintah Indonesia dan Australia telah melanggar konvensi hukum laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarkat Adat Tahun 2007 sehingga bisa dituntut ke Mahkamah Internasional. “Saya sebagai pemegang mandat atas hak masyarakat adat Timor Barat NTT, Rote Ndao, Sabu dan Alor di Laut Timor yang ditandatangani tahun 2003 lalu bisa menuntut Jakarta dan Canberra ke Mahkamah Internasional atas pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang terjadi di Laut Timor akibat bencana pencemaran tersebut,” tambah Tanoni. “Rakyat NTT dilukiskan oleh Jakarta sebagai masyarakat kelas tiga dalam wilayah NKRI sehingga bentuk ganti rugi disetarakan dengan harga sepotong roti,” tambah penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” itu. Sebagaimana diberitakan sebelumnya,Tanoni mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini mengatakan jika Indonesia bersedia untuk menerima ganti rugi 5 juta dolar AS maka pemerintah Indonesia secara langsung telah mengakui bahwa data-data ilmiah yang diklaim kepada PTTEP Australasia sangat tidak valid, sekaligus membenarkan bantahan PTTEP Australasia bahwa sebagian besar data-data dari Indonesia hanya berdasarkan pada asumsi-asumsi belaka. Menurut Tanoni, tawaran ganti rugi sebesar 5 juta dolar AS itu bukanlah sebuah hal baru, karena pada Juli 2010 tawaran yang sama oleh PTTEP Australasia diprotes keras oleh YPTB, kemudian pemerintah Indonesia melalui Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) tidak menerimanya dan mengajukan klaim sebesar 2,3 miliar dolar AS (sekitar Rp22 triliun), namun ditolak oleh PTTEP Australasia. Hal ini hanya merupakan akal-akalan Freddy Numberi untuk menunjukkan kepada Presiden dan rakyat Indonesia bahwa dia telah berhasil mendapatkan sejumlah uang ganti rugi,padahalnya sesungguhnya semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka yang dimainkan oleh Freddy Numberi dan Tim Advokasinya yang selalu lakukan semua perundingan dibalik pintu yang tertutup rapat,ujar Tanoni. Kupang,Minggu 13 Maret 2011 Yayasan Peduli Timor Barat Leo ==================================================================== 5 MILLION DOLLARS MONTARA INDEMNITY, CRIMES AGAINST HUMANITY. Timor Sea observer Ferdi Tanoni assess that the indemnity provided by Montara oil field operator for U.S. $ 5,000,000 (approximately Rp45 billion) is a form of cruel insult to the people of East Nusa Tenggara who are the victims of the pollution. “Compensation is planned to be handed over by Montara oil field operator, PTTEP Australasia through the Transportation Minister Freddy Numberi to then be given to the fishermen and seaweed farmers in NTT who are the victims of Montara pollution,” said Tanoni who is also Chairman of the West Timor Care Foundation (WTCF ) to the reporters in Kupang on Sunday. Minister Numberi in his statement to reporters in Jakarta on Thursday (10 / 3), said Indonesia would receive compensation from PTTEP Australasia of 5 million U.S. dollars for Montara oil spills in the Timor Sea. However, he added, until now there has been no agreement between the Indonesian government with PTTEP Australasia about the total amount of compensation to be paid by PTTEP Australasia, because they still do the matching data. WTCF legal advisor based in Australia Christine Masson said the agreement reached by Minister Numberi and PTTEP Australasia is a form of crime against humanity, that is very cruel. “It’s very irrational if terrifying Montara disaster in the Timor Sea was only rewarded with a five million U.S. dollars for seaweed farmers and fishermen in NTT who became the victims,” she said as quoted by Ferdi Tanoni. Montara oil well exploded on August 21, 2009 at West Atlas Block Timor Sea that resulted in 85,000 km2 of territorial waters of Indonesia in the Timor Sea, contaminated with crude oil,lead and hazardous substances that spewed from the oil wells. Meanwhile, observers of the international law from the University of Nusa Cendana (Undana) Kupang Wilhelmus Wetan Songa said,rate of the compensation afforded to the NTT through Minister Freddy Numberi is just a political farce that considers the people of NTT as a community that is not dignified. Songa Wetan who is also a lecturer at the Faculty of Law Undana Kupang, said the government of Indonesia and Australia had violated the UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 and the UN Declaration on the Rights of Indigenous Community in 2007 so could be prosecuted to the International Court of Justice. “I am as indigenous peoples’ mandate holders of West Timor, Rote Ndao, Sabu and Alor over Timor Sea signed in 2003 could sue Jakarta and Canberra to the International Court of Justice on human rights violations that occurred in the Timor Sea from pollution disaster,” added Tanoni. “NTT people described by Jakarta as the third-class society in the country so that the form of compensation synchronized with the price of a loaf of bread,” added the author of “Timor Sea Scandal, A Canberra-Jakarta Political Economy Barter” As reported earlier, Tanoni a former immigration agent of the Australian Embassy said if Indonesia was willing to accept compensation of 5 million U.S. dollars,Indonesian government has directly has acknowledged that the scientific data that is claimed to PTTEP Australasia is not valid, as well PTTEP Australasia justify their denial that most of the data from Indonesia are only based on mere assumptions. According to Tanoni, offer an indemnity of 5 million U.S. dollars is not a new thing, because in July 2010 the same bid by PTTEP Australasia protested loudly by WTCF, then the Indonesian government through the National Team for Oil Spill Emergency Response at Sea did not accept and make a claim for 2.3 billion dollars (about Rp22 trillion), but rejected by PTTEP Australasia. This is only a subterfuge of Freddy Numberi to show to the President and the people of Indonesia that he had managed to get some money for compensation,that really all this is simply a lie that is played by Freddy Numberi and his advocacy team behind close doors, said Tanoni. Kupang,Sunday Mrach 13 2011 West Timor Care Foundation Leo

STMIK AMIKOM

80% Ganti Rugi Montara untuk Kabupaten Rote Ndao
01 Jun 2011

Media Indonesia
Opini

KASUS limpahan minyak Montara, Australia, yang merugikan warga Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Kabupaten Rote Ndao, mengalami perkembangan positif.

Pemerintah pusat melalui Menteri Perhubungan berjanji akan memberikan ganti rugi sebesar 70″;,-80″;, kepada Pemerintah Kabupaten Rote Ndao. Janji itu disampaikan Menteri Perhubungan yang juga Ketua Tim Penanggulangan Nasional Limbah Montara dalam rapat Penanggulangan Nasional Limbah Montara, 20 Mei lalu. Dalam rapat itu hadir pula Gu-bemur NTT Frans Leburaya.

M.isih dalam rapat itu, Menteri Perhubungan mengungkapkan bahwa ganti rugi sebesar 20%-30% dari tuntutan akan diberikan kepada sejumlah kabupaten di NTT yang turuttercemar minyak Montara. Seperti Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Sabulaijua.

Kabupaten Rote Ndao menjadi penerima ganti rugi terbesar karena dinilai menjadi daerah paling dirugikan. Sebagai contoh, dalam dua tahun terakhir (2008-2010) jumlah produksi rumput laut warga menurun drastis. Pada 2008 produksi rumput laut mencapai 6.000 ton, saat ini hanya 1.000 ton.

“Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menjanjikan ganti rugi kepada rakyat di Rote sekitar 70%-80% dari tuntutan sementara ganti rugi yang akan dipenuhi PT TEP, Australia,” ujar Bupati Rote Ndao Leonardus Haning, di Jakarta, kemarin.

Menurut Bupati, pihaknya sebenarnya menuntut gantirugi senilai Rp23 triliun, tapi untuk sementara baru dipenuhi sebesar Rp40 miliar. Pihaknya sempat menolak ganti rugi itu karena tidak sesuai tuntutan. Namun, akhirnya diterima setelah pemerintah menjanjikan tambahan ganti rugi sebesar 70%-80% dari tuntutan.

Lens mengapresiasi janji Menteri Perhubungan sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat Rote Ndao yang cukup menderita akibat limbah Montara. Ia berharap kabupaten lain dapat menerima dan memahami posisi warga Rote Ndao.

Seorang petani rumput laut di Pulau Rote, Leonardus Sae, yang juga pendeta di daerah itu, mengungkapkan tumpahan minyak Montara di perairan sekitar Pulau Rote mengakibatkan panen rumput laut turun drastis. (Bay /B-3)

Leave a comment »