Sudah tiga kali Undang-Undang lingkungan hidup kita berganti, yakni UULH tahun 1982, UUPLH 1997, dan yang terakhir adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Semua hal tersebut merupakan upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di negara Indonesia. Namun keyataannya, sampai saat ini pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum terwujud dikarenakan aspek ekonomi lebih dipertimbangkan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan. Selain itu, tumbuh suburnya budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) juga menambah rumit permasalahan lingkungan hidup di Indonesia.
Kehadiran UUPPLH 2009 melahirkan berbagai angan dan harapan untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan isi materi UUPPLH yang memasukkan berbagai instrumen baru, antara lain seperti inventarisasi lingkungan hidup, rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH), kajian lingkungan hidup strategi (KLHS), ekoregion, serta penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam perizinan lingkungan.
Lalu apakah UUPPLH 2009 yang baru ini dapat memberikan jaminan terwujudnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di negara Indonesia?.
Perlu diingatkan, kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat Rencana Tata Ruang saja tidak terlaksana (sampai saat ini baru 5 dari 33 propinsi yang memiliki RTR), lantas hal yang wajar apabila kita meragukan kemampuan aparatur pemerintah melaksanakan UUPPLH. Mengingat UUPPLH membebani pemerintah dengan kewajiban membuat RPPLH, KLHS, dan ekoregion.
Pemberlakuan Undang-undang (UU) baru tentu tidak mampu menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Sebab UUPPLH tidak lain sarana berupa benda mati, yang dapat dipergunakan sesuai kehendak si penggunanya. Oleh karena itu, perhatiannya adalah bagaimana cara dan pelaksanaan supaya bangsa Indonesia mampu mencapai tujuan UUPPLH yakni mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
KNLH sebagai lembaga yang berwenang dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tentunya memegang peranan sentral dalam mewujudkan tujuan yang dicita-citakan oleh UUPPLH. Visi misi KNLH yang selaras dengan tujuan UUPPLH yakni mewujudkan pembangunan berkelanjutan, secara otomatis seharusnya menjadikan lembaga ini sebagai pengawal UUPPLH yang utama dan pertama.
Pada awal berdirinya (1978), KNLH merupakan wujud kesadaran lingkungan pemerintahan orde baru. KNLH dengan dukungan Soeharto dan Segitiga Emil Salimnya mampu melahirkan UULH 1982 serta mampu memainkan peranan positif dalam rangka penajaman, koordinasi, harmonisasi, dan sinkronisasi program sektoral pemerintah untuk mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam pelaksanaan pembangunan. Namun dalam perjalanannya, terutama saat terjadinya berbagai bencana lingkungan dan kebakaran hutan di Indonesia, KNLH semakin kehilangan jejaknya.
Marjinalisasi peran KNLH dalam pengelolaan lingkungan oleh departemen sektoral selama ini, membuat KNLH terkucilkan dalam perumusan perencanaan kebijakan semata. Sementara itu, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, yang seharusnya dikoordinasikan dengan KNLH, kenyataanya dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh departemen sektor. Selama ini departemen sektoral seolah menafikkan UULH dan UUPLH sebagai payung hukum (umbrella act) peraturan perundang-undangan (PUU) sektoral, yang mendelegasikan peran sentral kepada KNLH untuk mewujudkan keterpaduan melalui upaya koordinasi pada bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Sayangnya, KNLH terkesan hanya berdiam diri tanpa berbuat apapun. Selama ini KNLH belum memiliki rencana kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, yang mampu menjadi acuan departemen sektoral dan pemerintahan daerah. Akibatnya, KNLH cenderung diposisikan sebagai “pemadam kebakaran” dan bahkan parahnya, terkadang KNLH menjadi “kambing hitam” atas permasalahan lingkungan hidup yang terjadi.
Mengingat peranan dan berbagai permasalahan KNLH di masa lalu, maka kelahiran UUPPLH layak dijadikan momentum kebangkitan KNLH sebagai lokomotif pendorong dalam mengarustengahkan aspek lingkungan. KNLH harus berdiri paling depan dalam mengawal UUPPLH, dengan tujuan utama mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup di negara Indonesia.
KNLH pertama-tama tentunya harus memahami kewenangan yang diberikan UUPPLH kepadanya, seperti merumuskan berbagai rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan baik di tingkat pusat maupun daerah, serta memutuskan, mengendalikan, dan mengawasi perizinan lingkungan. Dengan ini maka KNLH dapat menunjukkan keberadaanya sebagai lembaga pengawal UUPPLH. Bahkan kalau perlu, berani berperang demi menegakkan UUPPLH!, sebagaimana yang dilaksanakan pada masa Pak Sony Keraf saat berhadapan dengan gubernur DKI Jakarta pada kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Selain itu, KNLH juga harus memaksimalkan kewenangan yang dimilikinya secara efektif dan efisien. Percuma saja selalu mengeluh kurang kewenangan dan anggaran dana sementara di lain sisi, kewenangan yang ada belum dilaksanakan dengan optimal. Dalam hal ini, KNLH harus mampu merumuskan dan membuat rencana-rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan, yang telah diamanatkan sejak lahirnya UUPLH 1997, sebagai acuan bagi instansi atau departemen sektoral lainnya.
Kemudian, upaya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM jajaran aparatur KNLH sendiri harus dilaksanakan. Jajaran KNLH harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menjadi aktor dan aktivis lingkungan yang gigih, dapat menjadi provokator, edukator, fasilitator, mediator, agar mampu untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan yang bersifat sektoral dan lintas batas negara dan daerah.
Keberadaan jajaran KNLH yang berkualitas tentunya ditujukan agar mampu meningkatkan kesadaran publik terhadap kelestarian lingkungan serta dapat meyakinkan departemen sektoral agar mengarustengahkan aspek lingkungan ke dalam setiap kebijakan yang dijalankan. Bahkan bila perlu dapat menghalangi dan menelanjangi segala kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang bermain di belakang setiap kebijakan departemen sektoral, yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Peningkatan kapasitas tersebut dapat pula dilaksanakan dengan mencari dan mendidik bibit muda yang memiliki pengetahuan lingkungan hidup yang baik, misalnya melalui keberadaan lomba tulis seperti ini, membuat forum dan bentuk kegiatan lain yang dapat memberikan peluang kepada bibit muda untuk menyalurkan pemikirannya.
Lebih lanjut, Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) selaku pimpinan KNLH harus menjadi panglima perang dalam menegakkan tujuan UUPPLH. Keberadaan teladan seorang Emil Salim dengan pengaruh yang dimilikinya dapat dicontoh oleh MenLH yang baru. Pengaruh tersebut nantinya sangat berguna untuk membangun hubungan, jaringan-jaringan, dan merumuskan strategi guna mencari sarana dan prasarana serta pasukan pendukung, yang nantinya digunakan dalam mencapai tujuan UUPPLH.
MenLH dapat meniru Segitiga Emil Salim, yakni kerjasama yang dilakukan antara KNLH (pemerintah), perguruan tinggi, dan LSM. KNLH tentunya dapat mengembangkan segi tiga, empat, lima, dan enam, atau bahkan segi tak terhingga berwujud lingkaran environmentalis (pendukung gerakan lingkungan) dalam upayanya bekerjasama antara lain dengan LSM, perguruan tinggi, kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh masyarakat, dunia usaha, dan pers.
Mengingat keberadaan “politik dagang sapi” di negara ini, maka Pak Gusti M Hatta sebagai MenLH dalam melaksanakan tugasnya jangan takut untuk diberhentikan oleh presiden. Bahkan kalo mau ekstrim maka MenLH dapat bertindak Extraordinary Measures (Prosedur Luar Biasa) misalnya dengan melakukan Hak Veto terhadap kebijakan yang tidak berwawasan lingkungan.
Semangat dan komitmen KNLH dan MenLH yang tinggi serta mampu membangkitkan semangat seluruh masyarakat Indonesia termasuk seluruh stakeholders, niscaya akan mendorong tercapainya tujuan UUPPLH, yakni mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.